KEMATANGAN BERAGAMA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sikap keberagamaan pada orang dewasa memiliki perspektif yang luas
didasarkan atas nilai-nilai yang dipilihnya. Selain itu, sikap keberagamaan ini
umumnya juga dilandasi oleh pendalaman pengartian dan perluasan pemahaman
tentang ajaran agama yang dianutnya. Beragama, bagi orang dewasa sudah
merupakan sikap hidup dan bukan sekedar ikut-ikutan.
Seseorang menganut suatu agama karena menurut keyakinannya agama
tersebutlah yang terbaik. Karena itu, ia berusaha menjadi penganut agama yang
baik. Keyakinannya ini ditampilkannya dalam sikap dan tingkah laku keagamaan
yang mencerminkan ketaatan terhadap agamanya.
Dalam kehidupan tak jarang dijumpai mereka yang taat beragama itu dilatar
belakangi oleh berbagai pengalaman beragama serta tipe kepribadian
masing-masing. Kondisi seperti ini menurut temuan psikologi agama mempengaruhi
sikap keagamaan seseorang. Dengan demikian pengaruh tersebut secara umum
memberi ciri-ciri tersendiri dalam sikap keagamaan. Didalam makalah ini akan diuraikan secara ringkas tentang pengertian,
ciri-ciri keberagamaan dan mistitisme dalam psikologi agama.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian kematangan beragam?
2.
Apa ciri-ciri sikap keberagamaan?
3.
Bagaimana mistitisme dalam psikologi agama ?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui pengertian kematangan beragam
2.
Untuk mengetahui ciri-ciri sikap keberagamaan
3.
Untuk mengetahui mistitisme dalam psikologi agama
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Kematangan Beragama
Menurut James Wiliams agama
adalah perasaan dan pengalaman dari insan secara individual yang menganggap
bahwa mereka berhubungan dengan apa yang dipandang sebagai tuhan.[1]
Manusia mengalami dua macam
perkembangan yaitu perkembangan jasmani dan perkembangan rohani. Perkembangan
jasmani diukur berdasarkan umur kronologis. Puncak perkembangan jasmani yang
dicapai manusia disebut kedewasaan, sebaliknya perkembangan rohani diukur
berdasarkan tingkat kemampuan (abilitas). Pencapaian tingkat abilitas tertentu
bagi perkembangan rohani disebut istilah kematangan(maturity).[2]
Kematangan beragama sendiri dapat dipandang sebagai keberagaman yang
terbuka pada semua fakta, nilai-nilai serta arah pada kerangka hidup, baik
secara teoritis maupun praktek dengan tetap berpegangan teguh pada ajaran agama.
Keterlambatan pencapaian
rohani menurut ahli psikologi pendidikan sebagai keterlambatan dalam
prekembangan kepribadian. Faktor-faktor ini dapat dibagi menjadi dua kelompok,
yaitu:
1. Factor yang terdapat pada diri anak dan
2. Factor yang berasal dari lingkungan.
Sejak dahulu memang sudah disepakati bahwa pribadi tiap orang itu tumbuh
atas dua kekuatan, yaitu kekuatan dari dalam dan dari luar atau lingkungan. Adapun
yang termasuk faktor dalam atau pembawaan, ialah segala sesuatu yang telah
dibawa oleh anak sejak lahir, baik yang bersifak kejiwaan maupun yang bersifat
ketubuhan. Yang termasuk factor
lingkungan ialah segala sesuatu yang ada diluar manusia, baik yang hidup maupun
yang mati.[3]
Kemampuan seseorang untuk mengenali atau memahami nilai agama yang terletak
pada nilai-nilai luhurnya serta menjadikan nilai-nilai dalam bersikap dan
bertingkah laku merupakan cirri kematangan beragama. Kematangan beragama dapat
dipandang sebagai keberagaman yang terbuka pada semua fakta, nilai-nilai serta
arah pada kerangka hidup, baik secara teoritis maupun praktek dengan tetap
berpegangan teguh pada ajaran agama.
B.
Ciri-Ciri Sikap Keberagamaan
Dalam bukunya The Varieties Of Religious Experience, William James
menilai secara garis besar sikap dan prilaku keagamaan itu dapat dikelompokkan
menjadi dua tipe, yaitu tipe orang yang sakit jiwa dan tipe orang yang sehat jiwa. Kedua tipe ini menunjukkan perilaku dan sikap keagamaan berbeda.
1. Tipe Orang yang Sakit Jiwa (The Sick Soul)
Menurut
William James, sikap keberagamaan orang yang sakit jiwa ini ditemui pada mereka
yang pernah mengalami latar belakang kehidupan keagamaan yang terganggu.
Maksudnya orang tersebut meyakini suatu agama dan melaksanakan ajaran agama
tidak didasarkan atas kematangan beragama yang berkembang secara bertahap sejak
usia kanak-kanak hingga menginjak usia dewasa seperti lazimnya yang terjadi
pada perkembangan secara normal. Mereka meyakini suatu agama dikarenakan oleh
adanya penderitaan batin antara lain mungkin diakibatkan oleh musibah, konflik
batin ataupun sebab lainnya yang sulit diungkapkan secara ilmiah.
Latar
belakang itulah yang kemudian menyebabkan perubahan sikap yang mendadak
terhadap keyakinan agama. Mereka beragama akibat dari suatu penderitaan yang
mereka alami sebelumnya.
William Starbuck, berpendapat bahwa penderitaan yang dialami disebabkan oleh dua factor utama
yaitu yang pertama dilatar belakangi oleh factor intern (dari dalam diri), sedangkan yang kedua adalah karena factor ekstern ( burupa penderitaan).[4]
a.
Faktor intern yang diperkirakan akan
menjadi penyebab dari timbulnya sikap keagamaan yang tidak lazim adalah :
1)
Temperamen
Temperamen merupakan salah-satu unsur dalam membentuk kepribadian manusia
sehingga dapat tercermin dalam kehidupan kejiwaan seseorang. Tingkah laku yang
didasarkan pada kondisi temperamen memegang peranan penting dalam sikap
keagamaan seseorang.
2)
Ganguan jiwa
Orang yang mengidap gangguan jiwa menunjukkan kelainan dalam sikap dan
tingkah lakunya. Tindak-tanduk keagamaan dan pengalaman keagamaan yang
ditampilkannya tergantung dari gejala gangguan jiwa yang mereka idap.
3)
Konflik dan keraguan
Konflik kejiwaan yang terjadi pada
diri seseorang mengenai keagamaan mempengaruhi sikap keagamaannya. Mungkin
berdasarkan kesimpulannya ia akan memilih salah-satu agama yang diyakininya
atau meninggalkannya sama sekali. Keyakinan agama yang dianut berdasarkan
pemilihan yang matang setelah terjadinya konflik kejiwaan akan lebih dihargai
dan dimuliakan. Konflik dan keraguan ini dapat mempengaruhi sikap seseorang
terhadap agama.
4)
Jauh dari tuhan
Orang yang dalam kehidupannya jauh dari agama lazimnya dirinya akan merasa
lemah dan kehilangan pegangan saat menghadapi cobaan. Ia seakan merasa tersisih
dari rahmat tuhan. Perasaan ini mendorongnya untuk lebih mendekatkan diri
kepada tuhan serta berupaya mengabdikan diri secara sungguh-sungguh. Hal ini
menyebabkan terjadinya perubahan dalam sikap keagamaan pada dirinya.
b.
Faktor ekstern yang diperkirakan
akan menjadi penyebab dari timbulnya sikap keagamaan yang tidak lazim adalah :
1)
Musibah
Terkadang musibah yang serius dapat mengguncangkan kejiwaan seseorang.
Keguncangan ini sering pula menimbulkan kesadaran dalam diri manusia dalam
berbagai tafsiran. Bagi mereka yang semasa sehatnya kurang memiliki pengalaman
dan kesadaran agama yang cukup, umumnya menafsirkan musibah sebagai peringatan
tuhan kepada dirinya.
Tafsiran seperti itu tak jarang memberi wawasan baru baginya untuk kembali
hidup ke jalan agama, sehingga makin berat musibah yang dialaminya maka akan
semakin tinggi ketaatannya kepada agama. Bahkan mungkin pula mereka yang
mengalami peristiwa semacam itu akan menjadi penganut agama yang fanatik.
2)
Kejahatan
Mereka yang menekuni kehidupan di lingkungan dunia hitam, baik sebagai
pelaku atau hanya sebagi pendukung kejahatan, umumnya akan mengalami guncangan
batin dan merasa berdosa. Persaan tersebut mereka tutupi dengan perbuatan yang
bersifat kompensatif.
Perasaan seperti itu biasanya menghantui terus menerus diri sendiri hingga
menyebabkan hidup mereka tidak pernah mengalami ketenangan dan ketentraman.
Sesekali mungkin saja timbul perasaan kemanusiaannya yang fitri seperti kasih
sayang, menyesal, dan merasa berdosasebagai akibat karena kehilangan harga diri
serta dikucilkan masyarakat.
Perasaan-persaan tersebut biasanya mendorong mereka untuk mencari
penyaluran yang menurut penilainnya dapat memberi ketentraman batin. Lazimnya,
mereka ini akan kembali kepada agama. Kesadaran ini sering mendorong seseorang
untuk bertobat. Sebagai penebus terhadap dosa-dosa yang telah diperbuatnya, tak
jarang orang-orang seperti ini kemudian menjadi penganut agama yang taat dan
fanatik.[5]
2. Tipe Orang yang Sehat Jiwa (Healthy-Minded-Ness)
Ciri dan
sifat agama pada orang yang sehat jiwa menurut W. Starbuck yang dikemukakan
oleh W. Houston Clark dalam bukunya Religion Psychology adalah :
a.
Optimis dan gembira
Orang yang sehat jiwa menghayati
segala bentuk ajaran agama dengan perasaan optimis. Pahala menurut pandangannya
adalah sebagai hasil jerih payah yang diberikan Tuhan. Sebaliknya, segala
bentuk musibah dan penderitaan yang dianggap sebagai keteledoran dan kesalahan
yang dibuatnya dan tidak beranggapan sebagai peringatan Tuhan terhadap dosa
manusia.
b.
Ektrovet dan tak mendalam
Sikap optimis dan terbuka yang
dimiliki orang yang sehat jasmani ini menyebabkan mereka mudah melupakan
kesan-kesan buruk dan luka hati yang tergores sebagai ekses agamis tindakannya.
Mereka selalu berpandangan keluar dan membawa suasana hatinya lepas dari
kungkungan ajaran keagamaan yang terlampau rumit. Mereka senang kepada kemudahan
dalam melaksanakan ajaran agama. Sebagai akibatnya mereka kurang senang
mendalami ajaran agama. Dosa mereka anggap sebagai akibat perbuatan mereka yang
keliru.
c.
Menyenangi ajaran ketauhidan yang
liberal
Sebagai pengaruh kepribadaian yang ekstrovet maka mereka
cenderung :
1)
Menyenangi teologi yang luwes dan
tidak kaku.
2)
Menunjukkan tingkah laku keagamaan
yang lebih bebas.
3)
Menekankan ajaran cinta kasih dari
pada kemurkaan dan dosa.
4)
Mempelopori pembelaan terhadap
kepentingan agama secara sosial.
5)
Tidak menyenangi implikasi penebusan
dosa dan kehidupan kebiaraan.
6)
Bersifat liberal dalam menafsirkan
pengertian ajaran agama.
7)
Selau berpandangan positif.
8)
Berkembang secara graduasi.
Walaupun keberagamaan orang dewasa ditandai dengan keteguhan dalam
pendirian serta ketetapan dalam kepercayaan baik dalam bentuk positif maupun
negatif, namun dalam kenyataan yang ditemui banyak juga orang dewasa yang
berubah keyakinan dan kepercayaan. Perubahan tersebut bisa saja ke arah acuh
tak acuh terhadap agama atau ke arah ketaatan terhadap agama.
C.
Mistitisme Dalam Psikologi Agama
Mistisisme merupakann salah
satu sisi dan pokok bahasan dalam psikologi agama. Misistisme dijumpai dalam
semua agama baik agama teistic maupun dikalangan mistik non teistik.[6]
Menurut Prof.Harunasution dalam tulisan barat, misitisme yang dalam islam
adalah tasawuf disebut sufisme, sebutan ini tidak dikenal dalam agama-agama
lain, melainkan khusus untuk sebutan mistisisme islam.[7]
Tasawuf atau sufisme mempunyai tujuan memperoleh hubungan langsung dan
disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada dihadirat
Tuhan. Cirri khas misistisme yang pertama kali menarik para ahli psikologi
agama adalah kenyataan bahwa pengalaman-pengalaman mistik atau
perubahan-perubahan kesadaran yang mencapai puncaknya dalam kondisi yang
digambarkannya sebagai kemanunggalan. Kondisi ini digambarkan oleh mereka yang
mengalami hal itu dirasakan sebagai pengalaman menyatu dengan Tuhan.
Mistisisme dalam kajian
psikologi agama dilihat dari hubungan sikap dan perilaku agama dengan gejala
kejiwaan yang melatar belakanginya. Jadi bukan dilihat dari abash tidaknya
mistisisme itu berdasarkan pandangan agama masing-masing dengan demikian
mistisisme menurut pandangan psikologi agama hanya terbatas pada upaya untuk
mempelajari gejala-gejala kehiwaan tertentu yang terdapat tokoh-tokoh mistik, tanpa harus mempermasalahkan agama yang mereka
anut
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Kematangan Beragama
Kematangan beragama merupakan kemampuan seseorang
untuk memahami, menghayati, serta mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama yang
dianutnya dalam kehidupan sehari-hari. Ia menganut suatu agama karena menurut keyakinannya agama tersebutlah yang
terbaik, karena itu ia berusaha menjadi penganut yang baik. Keyakinan itu
ditampilkan dalam sikap dan tingkah laku keagamaan yang mencerminkan ketaatan
terhadap agamanya.
2.
Ciri-Ciri Sikap Keberagamaan
a. Tipe Orang
yang Sakit Jiwa (The Sick Soul) yaitu: temperamen, gangguan jiwa, keraguan dan
jauh dari tuhan.
b. Tipe Orang
yang Sehat Jiwa (Healthy-Minded-Ness) yaitu : optimis, gembira, dan Menyenangi
ajaran ketauhidan yang liberal.
3.
Mistitisme Dalam Psikologi Agama
Mistisisme menurut pandangan psikologi agama hanya
terbatas pada upaya untuk mempelajari gejala-gejala kehiwaan tertentu yang
terdapat tokoh-tokoh mistik, tanpa harus mempermasalahkan agama yang mereka
anut
B.
Kata Penutup
Demikianlah pembahasan makalah ini, semoga dapat
bermanfaat bagi pembaca dan pemakalah sendiri. Kritik dan saran yang
konstruktif sangat kami harapkan dalam pembuatan makalah selajutnya agar
menjadi lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Daradjat, Zakiah, Ilmu
Jiwa Agama, Jakarta:
Bulan Bintang, 1996.
Jalaludin, Psikologi Agama, Jakarta: PT Raja Gravindo Persada, 2010.
Sujanto, Agu, dkk,Psikologi Kepribadian, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004.
Nasution, Harun, Filsafat
Mistisisme dalam Islam, Jakarta:
Bulan Bintang,1973.
[1] Zakiah
Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta:
Bulan Bintang,1996), hlm. 18
[2] Jalaludin, Psikologi
Agama, (Jakarta: PT
Raja Gravindo Persada,2010), hlm. 123
[3] Agus
Sujanto,dkk,Psikologi Kepribadian, (Jakarta: PT Bumi Aksara,2004), hlm. 5
[4] Jalaluddin, Op.Cit.,
hlm. 125-126.
[5] Ibid., hlm. 128.
[6] Harun Nasution,Filsafat Mistisisme dalam Islam (Jakarta:
Bulan Bintang,1973), hlm. 56
[7]
Jalaludin, Op.Cit. hlm. 134
Tidak ada komentar:
Posting Komentar