Rabu, 03 Maret 2021

MAKALAH PSIKOLOGI AGAMA '"KEMATANGAN BERAGAMA"

andiayis.blogspot.com

KEMATANGAN BERAGAMA


BAB I

PENDAHULUAN

 

A.      Latar Belakang

Sikap keberagamaan pada orang dewasa memiliki perspektif yang luas didasarkan atas nilai-nilai yang dipilihnya. Selain itu, sikap keberagamaan ini umumnya juga dilandasi oleh pendalaman pengartian dan perluasan pemahaman tentang ajaran agama yang dianutnya. Beragama, bagi orang dewasa sudah merupakan sikap hidup dan bukan sekedar ikut-ikutan.

Seseorang menganut suatu agama karena menurut keyakinannya agama tersebutlah yang terbaik. Karena itu, ia berusaha menjadi penganut agama yang baik. Keyakinannya ini ditampilkannya dalam sikap dan tingkah laku keagamaan yang mencerminkan ketaatan terhadap agamanya.

Dalam kehidupan tak jarang dijumpai mereka yang taat beragama itu dilatar belakangi oleh berbagai pengalaman beragama serta tipe kepribadian masing-masing. Kondisi seperti ini menurut temuan psikologi agama mempengaruhi sikap keagamaan seseorang. Dengan demikian pengaruh tersebut secara umum memberi ciri-ciri tersendiri dalam sikap keagamaan. Didalam makalah ini akan diuraikan secara ringkas tentang pengertian, ciri-ciri keberagamaan dan mistitisme dalam psikologi agama.

 

B.       Rumusan Masalah

1.         Apa pengertian kematangan beragam?

2.         Apa ciri-ciri sikap keberagamaan?

3.         Bagaimana mistitisme dalam psikologi agama ?

 

C.      Tujuan

1.         Untuk mengetahui pengertian kematangan beragam

2.         Untuk mengetahui ciri-ciri sikap keberagamaan

3.         Untuk mengetahui mistitisme dalam psikologi agama

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.      Pengertian Kematangan Beragama

Menurut James Wiliams agama adalah perasaan dan pengalaman dari insan secara individual yang menganggap bahwa mereka berhubungan dengan apa yang dipandang sebagai tuhan.[1]

Manusia mengalami dua macam perkembangan yaitu perkembangan jasmani dan perkembangan rohani. Perkembangan jasmani diukur berdasarkan umur kronologis. Puncak perkembangan jasmani yang dicapai manusia disebut kedewasaan, sebaliknya perkembangan rohani diukur berdasarkan tingkat kemampuan (abilitas). Pencapaian tingkat abilitas tertentu bagi perkembangan rohani disebut istilah kematangan(maturity).[2]

Kematangan beragama sendiri dapat dipandang sebagai keberagaman yang terbuka pada semua fakta, nilai-nilai serta arah pada kerangka hidup, baik secara teoritis maupun praktek dengan tetap berpegangan teguh pada ajaran agama.

Keterlambatan pencapaian rohani menurut ahli psikologi pendidikan sebagai keterlambatan dalam prekembangan kepribadian. Faktor-faktor ini dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:

1.    Factor yang terdapat pada diri anak dan

2.    Factor yang berasal dari lingkungan.

Sejak dahulu memang sudah disepakati bahwa pribadi tiap orang itu tumbuh atas dua kekuatan, yaitu kekuatan dari dalam dan dari luar atau lingkungan. Adapun yang termasuk faktor dalam atau pembawaan, ialah segala sesuatu yang telah dibawa oleh anak sejak lahir, baik yang bersifak kejiwaan maupun yang bersifat ketubuhan. Yang termasuk factor lingkungan ialah segala sesuatu yang ada diluar manusia, baik yang hidup maupun yang mati.[3]

Kemampuan seseorang untuk mengenali atau memahami nilai agama yang terletak pada nilai-nilai luhurnya serta menjadikan nilai-nilai dalam bersikap dan bertingkah laku merupakan cirri kematangan beragama. Kematangan beragama dapat dipandang sebagai keberagaman yang terbuka pada semua fakta, nilai-nilai serta arah pada kerangka hidup, baik secara teoritis maupun praktek dengan tetap berpegangan teguh pada ajaran agama.

 

B.       Ciri-Ciri Sikap Keberagamaan

Dalam bukunya The Varieties Of Religious Experience, William James menilai secara garis besar sikap dan prilaku keagamaan itu dapat dikelompokkan menjadi dua tipe, yaitu tipe orang yang sakit jiwa dan tipe orang yang sehat jiwa. Kedua tipe ini menunjukkan perilaku dan sikap keagamaan berbeda.

1.    Tipe Orang yang Sakit Jiwa (The Sick Soul)

Menurut William James, sikap keberagamaan orang yang sakit jiwa ini ditemui pada mereka yang pernah mengalami latar belakang kehidupan keagamaan yang terganggu. Maksudnya orang tersebut meyakini suatu agama dan melaksanakan ajaran agama tidak didasarkan atas kematangan beragama yang berkembang secara bertahap sejak usia kanak-kanak hingga menginjak usia dewasa seperti lazimnya yang terjadi pada perkembangan secara normal. Mereka meyakini suatu agama dikarenakan oleh adanya penderitaan batin antara lain mungkin diakibatkan oleh musibah, konflik batin ataupun sebab lainnya yang sulit diungkapkan secara ilmiah.

Latar belakang itulah yang kemudian menyebabkan perubahan sikap yang mendadak terhadap keyakinan agama. Mereka beragama akibat dari suatu penderitaan yang mereka alami sebelumnya.

William Starbuck, berpendapat bahwa penderitaan yang dialami disebabkan oleh dua factor utama yaitu yang pertama dilatar belakangi oleh factor intern (dari dalam diri), sedangkan yang kedua adalah karena factor ekstern ( burupa penderitaan).[4]

a.     Faktor intern yang diperkirakan akan menjadi penyebab dari timbulnya sikap keagamaan yang tidak lazim adalah :

 

1)   Temperamen

Temperamen merupakan salah-satu unsur dalam membentuk kepribadian manusia sehingga dapat tercermin dalam kehidupan kejiwaan seseorang. Tingkah laku yang didasarkan pada kondisi temperamen memegang peranan penting dalam sikap keagamaan seseorang.

2)   Ganguan jiwa

Orang yang mengidap gangguan jiwa menunjukkan kelainan dalam sikap dan tingkah lakunya. Tindak-tanduk keagamaan dan pengalaman keagamaan yang ditampilkannya tergantung dari gejala gangguan jiwa yang mereka idap.

3)   Konflik dan keraguan

Konflik kejiwaan yang terjadi pada diri seseorang mengenai keagamaan mempengaruhi sikap keagamaannya. Mungkin berdasarkan kesimpulannya ia akan memilih salah-satu agama yang diyakininya atau meninggalkannya sama sekali. Keyakinan agama yang dianut berdasarkan pemilihan yang matang setelah terjadinya konflik kejiwaan akan lebih dihargai dan dimuliakan. Konflik dan keraguan ini dapat mempengaruhi sikap seseorang terhadap agama.

4)      Jauh dari tuhan

Orang yang dalam kehidupannya jauh dari agama lazimnya dirinya akan merasa lemah dan kehilangan pegangan saat menghadapi cobaan. Ia seakan merasa tersisih dari rahmat tuhan. Perasaan ini mendorongnya untuk lebih mendekatkan diri kepada tuhan serta berupaya mengabdikan diri secara sungguh-sungguh. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan dalam sikap keagamaan pada dirinya.

b.    Faktor ekstern yang diperkirakan akan menjadi penyebab dari timbulnya sikap keagamaan yang tidak lazim adalah :

1)   Musibah

Terkadang musibah yang serius dapat mengguncangkan kejiwaan seseorang. Keguncangan ini sering pula menimbulkan kesadaran dalam diri manusia dalam berbagai tafsiran. Bagi mereka yang semasa sehatnya kurang memiliki pengalaman dan kesadaran agama yang cukup, umumnya menafsirkan musibah sebagai peringatan tuhan kepada dirinya.

Tafsiran seperti itu tak jarang memberi wawasan baru baginya untuk kembali hidup ke jalan agama, sehingga makin berat musibah yang dialaminya maka akan semakin tinggi ketaatannya kepada agama. Bahkan mungkin pula mereka yang mengalami peristiwa semacam itu akan menjadi penganut agama yang fanatik.

2)   Kejahatan

Mereka yang menekuni kehidupan di lingkungan dunia hitam, baik sebagai pelaku atau hanya sebagi pendukung kejahatan, umumnya akan mengalami guncangan batin dan merasa berdosa. Persaan tersebut mereka tutupi dengan perbuatan yang bersifat kompensatif.

Perasaan seperti itu biasanya menghantui terus menerus diri sendiri hingga menyebabkan hidup mereka tidak pernah mengalami ketenangan dan ketentraman. Sesekali mungkin saja timbul perasaan kemanusiaannya yang fitri seperti kasih sayang, menyesal, dan merasa berdosasebagai akibat karena kehilangan harga diri serta dikucilkan masyarakat.

Perasaan-persaan tersebut biasanya mendorong mereka untuk mencari penyaluran yang menurut penilainnya dapat memberi ketentraman batin. Lazimnya, mereka ini akan kembali kepada agama. Kesadaran ini sering mendorong seseorang untuk bertobat. Sebagai penebus terhadap dosa-dosa yang telah diperbuatnya, tak jarang orang-orang seperti ini kemudian menjadi penganut agama yang taat dan fanatik.[5]

2.    Tipe Orang yang Sehat Jiwa (Healthy-Minded-Ness)

Ciri dan sifat agama pada orang yang sehat jiwa menurut W. Starbuck yang dikemukakan oleh W. Houston Clark dalam bukunya Religion Psychology adalah :

 

a.     Optimis dan gembira

Orang yang sehat jiwa menghayati segala bentuk ajaran agama dengan perasaan optimis. Pahala menurut pandangannya adalah sebagai hasil jerih payah yang diberikan Tuhan. Sebaliknya, segala bentuk musibah dan penderitaan yang dianggap sebagai keteledoran dan kesalahan yang dibuatnya dan tidak beranggapan sebagai peringatan Tuhan terhadap dosa manusia.

b.    Ektrovet dan tak mendalam

Sikap optimis dan terbuka yang dimiliki orang yang sehat jasmani ini menyebabkan mereka mudah melupakan kesan-kesan buruk dan luka hati yang tergores sebagai ekses agamis tindakannya. Mereka selalu berpandangan keluar dan membawa suasana hatinya lepas dari kungkungan ajaran keagamaan yang terlampau rumit. Mereka senang kepada kemudahan dalam melaksanakan ajaran agama. Sebagai akibatnya mereka kurang senang mendalami ajaran agama. Dosa mereka anggap sebagai akibat perbuatan mereka yang keliru.

c.     Menyenangi ajaran ketauhidan yang liberal

Sebagai pengaruh kepribadaian yang ekstrovet maka mereka cenderung :

1)   Menyenangi teologi yang luwes dan tidak kaku.

2)   Menunjukkan tingkah laku keagamaan yang lebih bebas.

3)   Menekankan ajaran cinta kasih dari pada  kemurkaan dan dosa.

4)   Mempelopori pembelaan terhadap kepentingan agama secara sosial.

5)   Tidak menyenangi implikasi penebusan dosa dan kehidupan kebiaraan.

6)   Bersifat liberal dalam menafsirkan pengertian ajaran agama.

7)   Selau berpandangan positif.

8)   Berkembang secara graduasi.

Walaupun keberagamaan orang dewasa ditandai dengan keteguhan dalam pendirian serta ketetapan dalam kepercayaan baik dalam bentuk positif maupun negatif, namun dalam kenyataan yang ditemui banyak juga orang dewasa yang berubah keyakinan dan kepercayaan. Perubahan tersebut bisa saja ke arah acuh tak acuh terhadap agama atau ke arah ketaatan terhadap agama.

C.      Mistitisme Dalam Psikologi Agama

Mistisisme merupakann salah satu sisi dan pokok bahasan dalam psikologi agama. Misistisme dijumpai dalam semua agama baik agama teistic maupun dikalangan mistik non teistik.[6] Menurut Prof.Harunasution dalam tulisan barat, misitisme yang dalam islam adalah tasawuf disebut sufisme, sebutan ini tidak dikenal dalam agama-agama lain, melainkan khusus untuk sebutan mistisisme islam.[7] Tasawuf  atau sufisme mempunyai tujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada dihadirat Tuhan. Cirri khas misistisme yang pertama kali menarik para ahli psikologi agama adalah kenyataan bahwa pengalaman-pengalaman mistik atau perubahan-perubahan kesadaran yang mencapai puncaknya dalam kondisi yang digambarkannya sebagai kemanunggalan. Kondisi ini digambarkan oleh mereka yang mengalami hal itu dirasakan sebagai pengalaman menyatu dengan Tuhan.

Mistisisme dalam kajian psikologi agama dilihat dari hubungan sikap dan perilaku agama dengan gejala kejiwaan yang melatar belakanginya. Jadi bukan dilihat dari abash tidaknya mistisisme itu berdasarkan pandangan agama masing-masing dengan demikian mistisisme menurut pandangan psikologi agama hanya terbatas pada upaya untuk mempelajari gejala-gejala kehiwaan tertentu yang terdapat tokoh-tokoh mistik, tanpa harus mempermasalahkan agama yang mereka anut

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

A.      Kesimpulan

1.         Kematangan Beragama

Kematangan beragama merupakan kemampuan seseorang untuk memahami, menghayati, serta mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari. Ia menganut suatu agama karena menurut keyakinannya agama tersebutlah yang terbaik, karena itu ia berusaha menjadi penganut yang baik. Keyakinan itu ditampilkan dalam sikap dan tingkah laku keagamaan yang mencerminkan ketaatan terhadap agamanya.

2.         Ciri-Ciri Sikap Keberagamaan

a.    Tipe Orang yang Sakit Jiwa (The Sick Soul) yaitu: temperamen, gangguan jiwa, keraguan dan jauh dari tuhan.

b.    Tipe Orang yang Sehat Jiwa (Healthy-Minded-Ness) yaitu : optimis, gembira, dan Menyenangi ajaran ketauhidan yang liberal.

3.         Mistitisme Dalam Psikologi Agama

Mistisisme menurut pandangan psikologi agama hanya terbatas pada upaya untuk mempelajari gejala-gejala kehiwaan tertentu yang terdapat tokoh-tokoh mistik, tanpa harus mempermasalahkan agama yang mereka anut

 

B.       Kata Penutup

Demikianlah pembahasan makalah ini, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca dan pemakalah sendiri. Kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan dalam pembuatan makalah selajutnya agar menjadi lebih baik.

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Daradjat, Zakiah, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1996.

Jalaludin, Psikologi Agama, Jakarta: PT Raja Gravindo Persada, 2010.

Sujanto, Agu, dkk,Psikologi Kepribadian, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004.

Nasution, Harun, Filsafat Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang,1973.

 

 



[1] Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang,1996), hlm. 18

[2] Jalaludin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT Raja Gravindo Persada,2010), hlm. 123

[3] Agus Sujanto,dkk,Psikologi Kepribadian, (Jakarta: PT Bumi Aksara,2004), hlm. 5

[4] Jalaluddin, Op.Cit., hlm. 125-126.

[5]  Ibid., hlm. 128.

[6] Harun Nasution,Filsafat Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang,1973), hlm. 56

[7] Jalaludin, Op.Cit. hlm. 134


Tidak ada komentar:

Posting Komentar