Rabu, 03 Maret 2021

MAKALAH MAQAMAT DAN AHWAL DALAM TASAWUF

andiayis.blogspot.com

MAQAMAT DAN AHWAL DALAM TASAWUF

BAB I

PENDAHULUAN

 

A. Latar Belakang

Tinjauan analitis terhadap tasawuf menunjukkan bagaimana para sufi dengan berbagai aliran yang dianutnya memiliki suatu konsepsi tentang jalan menuju Allah. Jalan ini dimulai dengan latihan – latihan(riyadhah),lalu secara bertahap menempuh berbagai fase, yang dikenal dengan maqam (tingkatan) kepada Allah dan hal (keadaan), yang berakhir dengan mengenal (ma’rifat) kepada Allah. Tingkat ma’rifat pada umumnya banyak dikejar oleh para sufi diwujudkan melalui amalan – amalan dan metode – metode tertentu yang disebut  tariqhat, atau jalan dalam rangka menemukan pengenalan Allah. Lingkup perjalanan menuju Allah untuk memperoleh ma’rifat yang berlaku di kalangan sufi sering disebut sebagai sebuah kerangka irfani.

Lingkup Irfani tidak dapat dicapai dengan mudah atau secara spontanitas, tetapi melalui proses yang panjang. Proses yang dimaksud adalah maqam – maqam (tingkatan atau stasiun ) dan ahwal (jama’ dari hal) Dua persoalan ini harus dilewati oleh orang yang berjalan menuju Tuhan. Berikut penjelasan mengenai pengertian Maqamat dan Ahwal beserta tahan-tahapannya.

 

B. RUMUSAN MASALAH

1.    Apa pengertian Maqamat dan Ahwal ?

2.    Bagaimana tahapan-tahapan Maqamat dan Ahwal ?

 

C. TUJUAN PEMBAHASAN

1.    Untuk mengetahui pengertian Maqamat dan Ahwal

2.    Untuk mengetahui tahapan-Tahapan Maqomah dan Ahwal

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.  Pengertian Maqamat dan Ahwal

1.      Pengertian Maqamat

Secara harfiah Maqamat berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat kepada Allah.[1]

Dalam bahasa inggris Maqamat dikenal dengan istilah stages yang artinya tangga. Sedangkan dalam ilmu tasawuf maqamat berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah berdasarkan apa yang telah diusahakan, baik melalui Riyadhah, Ibadah, maupun mujahadah.[2]

 

2.      Pengertian Ahwal

Secara Bahasa Al Ahwal merupakan jamak dari kata tunggal hal yang berarti keadaan atau sesuatu (keadaan rohani), menurut syekh Abu Nash As-sarraj, hal adalah sesuatu yang terjadi yang mendadak yang bertempat pada hati nurani dan tidak bertahan lama.[3]

Menurut harun nasution, dalam Bukunya abuddin Nata Akhlak Tasawuf. Hal atau akhwal merupakan keadaan mental perasaan senang, perasaan takut, perasaan sedih, dan sebagainya.[4]

Sedangkan Menurut imam al Ghozali dalam Bukunya Tim Penyusun MKD Iain Sunan Ampel Surabaya. menerangkan bahwa, hal adalah kedudukan atau situasi kejiwaan yang dianugrahkan Allah kepada seorang hamba pada suatu waktu, baik sebagai buah dari amal saleh yang mensucikan jiwa atau sebagai pemberian semata.[5]

 

 

B.  Macam-macam Maqamat dan Ahwal dalam Tasawuf

1.      Macam-Macam Maqamat

Sebenarnya banyak pendapat yang memaparkan tentang maqamat dalam tasawuf, namun dalam bahasan ini kami kutib maqamat dalam tasawuf menurut Abu Nasr As Sarraj yaitu adatujuh tingkatan, Yaitu Taubat, Wara’, Zuhud, Faqr, Sabar, Ridha, Tawakal. [6]

(1)   Taubat

Kata Taubat adalah bentuk mashdar dan berasal dari bahasa Arab, yaitu taba, yatubu, taubatan yang artinya kembali, sedangkan taubat yang dimaksud kelompok sufi yaitu memohon ampun kepada Allah SWT atas segala dosa dan kesalahan dan berjanji dengan sungguh-sungguh dan tidak akan mengulangi perbuatan dosa tersebut lagi, kemudian diikuti dengan melakukan amal kebajikan.[7]

Berkaitan dengan maqam taubat, dalam al qur’an terdapat banyak ayat yang menjelaskan masalah ini. Yaitu firman Allah (Q.S An nur, 24:31)

وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

... Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.(Q.S An nur, 24:31)[8]

(2)   Wara’

Secara bahasa Wara‘dari kata wara’a-yari’u- wara’an artinya al-kaff (mencukupkan diri dari sesuatu) dan al-iffah (menahan diri dari sesuatu yang tidak sewajarnya). Pada dasarnya sikap wara‘ itu mencukupkan diri dengan sesuatu yang halal dan menjauhkan diri dari sesuatu yang haram, sehingga hati menjadi lembut dan cenderung untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya.Secara harfiah al wara’ artinya soleh, kata wara’ mengadung arti menjauhi hal-hal yang tidak baik. Dalam pengertian sufi wal wara’ adalah meninggalkan yang didalamnya terdapat keragu-raguan antara halal dan haram (Syubhat). [9]

(3)   Zuhud

Secara harfiah zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat keduniawian. Zuhud termasuk salah satu ajaran agama yang sangat penting dalam rangka mengendalikan diri dari pengaruh kehidupan dunia.[10]

Zuhud dapat diartikan sebagai suatu sikap melepaskan diri dari rasa ketergantungan terhadap kehidupan duniawi dengan mengutamakan kehidupan akhirat. Zuhud termasuk salah satu ajaran agama islam yang sangat penting dalam rangka mengendalikan diri dari pengaruh negatif kehidupan dunia. Orang zuhud lebih mengutamakan atau mengejar kebahagiaan hidup di akhirat yang abadi daripada mengejar kehidupan dunia yang fana.

 

(4)   Faqr

Kata Faqr dari segi bahasa artinya adalah orang yang berhajat, butuh, atau orang miskin, sedangkan dalam pandangan sufi faqr adalah tidak meminta lebih dari pada yang menjadi haknya, tidak banyak mengharap dan memohon rezeki, kecuali hanya untuk menjalankan kewajiban-kewajiban dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah . Secara harfiah Faqr biasa diartikan sebagai orang yang tidak butuh dunia.[11]

Faqr dapat berarti sebagai kekurangan harta yang diperlukan seseorang dalam menjalani kehidupan didunia. Sikap faqr penting dimiliki oang yang berjalan dijalan Allah karena kekayaan dan kebanyakan harta memungkinkan manusia dekat pada kejahatan.

 

(5)   Sabar

Kata sabar dapat dimaknai menghindari dari hal-hal yang bertentangan dengan apa yang dilarang Allah, ia tenang ketika mendapatkan cobaan. Dikalangan para sufi, sabar terdiri atas sabar dalam menjalankan perintah-perintah Allah, sabar dalam menjauhi larangan-Nya, dan sabar dalam menerima segala cobaan yang ditimpakan-Nya kepadanya.[12]

 

 

(6) Al Ridha

Ridha, secara harfiah, berarti rela, senang dan suka. Sedangkan pengertiannya secara umum adalah tidak menentang qadha dan qadar Allah, menerima qadha dan qadar dengan hati senang. Mengeluarkan perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal di dalamnya hanya perasaan senang dan gembira. Merasa senang menerima malapetaka sebagaimana merasa senang menerima nikmat.[13]

[14]

(7)  Tawakal

Dalam kehiduapan sehari-hari sering didengar dan dijumpai ucapan-ucapan bahwa kita bertawakal kepada Allah SWT. Makna tawakal disini adalah menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah setelah berusaha dengan sungguh-sungguh. Secara harfiah, tawakal berarti bersandar / mempercayai diri. Apabila dikembangkan secara etimologinya, tawakal bermakna mempercayai diri secara utuh tanpa keraguan.14 Dalam keadaan suka, diri akan bersyukur dan dalam keadaan duka, diri akan bersabar serta tidak resah gelisah.

 

2.      Macam-macam Ahwal dalam Tasawuf

Ahwal yang sering dijumpai dalam perjalanan kaum sufi, antara lain waspada dan mawas diri (muhasabah dan muraqabah),cinta  (hubb), berharap dan takut (raja’ dan khauf), rindu (syauq), intim (uns).

 

a.       Waspadadanmawasdiri (MuhasabahdanMuraqabah) 

Waspada dan mawas diri merupakan dua hal yang saling berkaitan erat. Oleh karena itu, ada sufi yang mengupasnya secara bersamaan. Waspada dan mawas diri merupakan dua sisi dari tugas yang sama dalam menundukkan perasaan jasmani yang berupa kombinasi dari pembawaan nafsu dan amarah. Waspada (muhasabah) dapat diartikan menyakini bahwa Allah SWT. Mengetahui segala pikiran, perbuatan, rahasia dalam hati, yang membuat seseorang menjadi hormat, takut, dan tunduk kepada Allah SWT.

Adapun mawasdiri (muraqabah) adalah meneliti dengan cermat apakah segala perbuatannya sehari-hari telah sesuai atau malah menyimpang dari yang dikehendaki-Nya.

 

b.      Cinta (hubb)

Dalam pandangan tasawuf, mahabbah (cinta) merupakan pijakan bagi segenap kemuliaan hal, sama seperti tobat yang menjadi dasar bagi kemuliaan maqam. Karena mahabbah pada dasarnya adalah kecendrungan hati untuk memperhatikan keindahan atau kecantikan. [15]

Berkenaan dengan mahabbah, Suhrawardi mengatakan, ‘’sesungguhnya mahabbah (cinta) adalah mata rantai keselarasan yang mengikat sang pencipta kepada kekasihnya. Ketertarikan kepada kekasih, yang menarik sang pencipta kepadanya, dan melenyapkan sesuatu dari wujudnya sehingga ia menguasai seluruh sifat dalam dirinya, kemudian menangkap zatnya dalam genggam qudrat (Allah).

 

c.       Berharap dan takut (Raja’ dan Khauf)

Bagi kalangan sufi, raja’ dan khauf berjalan seimbang dan saling mempengaruhi. Raja’berarti berharap atau optimis.Raja’ atau optimisme adalah perasaan hati yang senang karena menanti sesuatu yang diinginkan dan disenangi. Raja’ atau optimis ini telah ditegaskan dalam Al-qur’an; (Q.S.Al-Baqarah(2)218) 

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَٰئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّهِ

وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

 

 

 

 

Raja’ menuntut 3 perkaraya yaitu:

1)   Cinta pada apa yang diharapkannya

2)   Takut harapannya hilang

3)   Berusaha untuk mencapainya 

Raja’ yang tidak dibarengi dengan 3 perkara itu hanyalah ilusi atau khayalan. Setiap orang yang berharap adalah orang yang takut (khauf). Orang yang berharap untuk sampai disuatu tempat tepat pada waktunya, tentu ia takut terlambat. Karena takut terlambat, ia mempercepat jalannya. Begitupula, orang yang mengharap ridha atau ampunan Tuhan, diiringi pula dengan rasa takut akan siksaan Tuhan 

Ahmad faridh menegaskan bahwa khauf merupakan cambuk yang digunakan Allah SWT, Untuk menggiring hamba-hamba-Nya menuju ilmu dan amal supaya dengan keduanya, mereka dapat dekat kepada Allah SWT. Khauf adalah kesakitan hati karena membayangkan sesuatu yang ditakuti, yang akan menimpa dirinya pada masa yang akan datang. Khauf dapat mencegah hamba  berbuat maksiat dan mendorongnya untuk senantiasa berada dalam ketaatan.

Khauf dan raja’ saling berhubungan. Kekurangan khauf akan menyebabkan seseorang lalai dan berani berbuat maksiat, sedangkan khauf yang berlebihan akan menjadikannya putus asa dan pesimis. Begitu juga sebaliknya, terlalu besar sikap raja akan membuat seseorang sombong dan meremehkan amalan –amalannya karena optimisnya yang berlebihan. 

 

d.      Rindu (syauq) 

Selama masih ada cinta, syauq tetap diperlukan.[16]  Dalam lubuk jiwa, rasa rindu hidup dengan subur, yaitu rindu ingin segera bertemu dengan Tuhan. Ada orang yang mengatakan bahwa maut merupakan bukti cinta yang benar. Lupa kepada Allah SWT, lebih berbahaya dari pada maut. Bagi sufi yang rindu kepada Tuhan, mati dapat berarti bertemu dengan Tuhan, sebab hidup merintangi pertemuan ‘abid dan ma’budnya.[17]

 

 

 

e.       Intim (uns)

Dalam pandangan kaum sufi, sifat uns (intim ) adalah sifat merasa selalu berteman, tak pernah merasa sepi. Ungkapan berikut ini melukiskan sifat uns: ‘’Ada orang yang merasa sepi dalam keramaian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan kekasihnya sebab sedang dimabuk cinta, seperti halnya sepasang pemuda dan pemudi. Adapula orang yang merasa bising dalam kesepian .

Ia adalah orang yang selalu memikirkan atau merencanakan tugas pekerjaannya semata. Adapun engkau, selalu merasa berteman dimanapun berada. Alangkah mulianya engkau bertemandengan Allah SWT artinya, engkau selalu berada dalam pemeliharaan Allah SWT. [18]

 

Ungkapan ini melukiskan keakraban atau keintiman seorang sufi dengan Tuhannya. Sikap keintiman ini banyak dialami oleh kaum sufi.

 

 


 

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

1.      Pengertian Maqamat dan Ahwal

a.       Maqamat jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat kepada Allah

b.      Ahwal adalah kedudukan atau situasi kejiwaan yang dianugrahkan Allah kepada seorang hamba pada suatu waktu, baik sebagai buah dari amal saleh yang mensucikan jiwa atau sebagai pemberian semata.

2.      Macam-macam Maqamat dan Ahwal

1)      Macam-macam maqamat diantaranya: 

a)      Tobat

b)      Wara’

c)      Zuhud

d)     Faqr(faqir)

e)      Sabar

f)       Rela(ridha)

g)      Tawakkal.

2)      Macam-macam Ahwal:

a)      Waspada dan mawas diri (muhasabbah dan murakobbah)

b)      Cinta (hubb)

c)      Berharap dan takut (raja’ dankhauf )

d)     Rindu (syauq )

e)      Intim (uns )

 

B.     Penutup

Demikianlah pembahasan makalah ini, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca dan pemakalah sendiri. Kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan dalam pembuatan makalah selajutnya agar menjadi lebih baik.


 

DAFTAR PUSTAKA

 

Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2000

Departemen Agama RI. Al Qur’an dan Terjemah. Bandung: Jumanatul Ali. 2005

Tim Penyusun MKD Iain Sunan Ampel Surabaya. Akhlak Tasawuf, Surabaya: IAIN Sunan Ampel Pres. 2011

Romly Arief. Kuliah Akhlak Tasawuf. Jombang: Unhasy Press. 2008

Rosihun Dkk. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia. 2000

Rifa’i, Bachrum dan Hasan Mud’is.Filsafat Tasawuf.Bandung: Pustaka Setia, 2010

Suhrawardi, Saikh Syihabuddin Umar.‘Awarif Al-Ma’arif. Alih Bahasa Ilma Nugrahani Isma’il. Bandung: Pustaka Hidayah. 1998

Umarie, Barmawie. Sistematika Tasawuf. Solo: Siti Syamsiyah. 1966



1Abuddin Nata,  Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), hal.193

2 Tim Penyusun MKD Iain Sunan Ampel Surabaya, Akhlak Tasawuf, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Pres. 2011), hal.243

3Ibid, hal.262

4Abuddin Nata, Loc, Cit, hal. 205

5Tim Penyusun MKD Iain Sunan Ampel Surabaya, Loc, Cit, hal.263

 

6Abuddin Nata, Op, Cit,  194

7Tim Penyusun Mkd Iain Sunan Ampel Surabaya, Op, Cit, 244-249

8Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemah, (Bandung: Jumanatul Ali, 2005), 354

9Abuddin Nata, Op, Cit,  199

 

 

 

[10]Romly Arief, Kuliah Akhlak Tasawuf. (Jombang, Unhasy Pres, 2008), hlm.111

[11]Rosihun DKK, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia 2000), hlm.71

[12]Abudin Nata, Loc.Cit, hlm. 203

[13]Ibid, hlm. 202

14 Bachrum Rifa’i dan Hasan Mud’is, Filsafat Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 214

 

[15]Saikh Syihabuddin Umar Suhrawardi, ‘Awarif Al-Ma’arif, Alih Bahasa Ilma Nugrahani Ismail, Bandung : Pustaka Hidayah, 1998, hlm. 185

[16]Suhrawardi, ‘awarif.... hlm.191

[17] Barmawie Umarie, Sistematika Tasawuf, Siti Syamsiyah, Solo, 1966, hlm. 85

[18]Ibid, hlm. 85


Tidak ada komentar:

Posting Komentar