Rabu, 03 Maret 2021

MAKALAH AL QARDH

andiayis.blogspot.com

AL-QARDH

 

BAB I
PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang

Hutang piutang adalah perkara yang tidak bisa dipisahkan dalam interaksi kehidupan manusia. Ketidakmerataan dalam hal materi adalah salah satu penyebab munculnya perkara ini. Selain itu juga adanya pihak yang menyediakan jasa peminjaman (hutang) juga ikut ambil bagian dalam transaksi ini.

Islam sebagai agama yang mengatur segala urusan dalam kehidupan manusia juga mengatur mengenai perkara hutang piutang. Konsep hutang piutang yang ada dalam Islam pada dasarnya adalah untuk memberikan kemudahan bagi orang yang sedang kesusahan. Namun pada zaman sekarang, konsep muamalah sedikit banyak telah bercampur aduk dengan konsep yang diadopsi dari luar Islam. Hal ini sedikit demi sedikit mulai menyisihka, menggeser, bahkan bisa menghilangkan konsep muamalah Islam itu sendiri. Oleh karena itulah, perkara hutang piutang ini penting untuk diketahui oleh umat Islam agar nantinya bisa melaksanakan transaksi sesuai dengan yang telah disyariatkan oleh Allah swt.

Bertolak dari apa yang sedikit diuraikan di atas, makalah ini dibuat untuk  memaparkan apa yang telah disyariatkan oleh agama Islam terkait al-Qardh (hutang piutang) terrkait definisi, dasar hukum, syarat qardh, dan lain sebagainya.

 

B.     Rumusan Masalah

1.    Apa pengertian Al-Qardh dan apa dasar hukumnya?

2.    Apa rukun dan syarat Al-Qardh?

3.    Apa hikmah disyariatkan Al-Qardh?

4.    Bagaimana praktek Al-Qardh dalam perbankan syariah?

 

C.    Tujuan

1.    Untuk mengetahui pengertian dan  dasar hukum Al-Qardh

2.    Untuk mengetahui rukun dan syarat Al-Qardh

3.    Untuk mengetahui hikmah disyariatkan Al-Qardh

4.    Untuk mengetahui Al-Qardh dalam perbankan syariah

BAB II
PEMBAHASAN

 

A.    Pengertian dan dasar hukum Al-Qardh

1.    Pengertian Al-Qardh

Secara etimologi, qardh berarti اَلْقَطْعُ (potongan). Dinamakan demikian karena pemberi utang (muqrid) memotong sebagian hartanya dan memberikannya kepada pengutang. Adapun qardh secara terminologis adalah memberikan harta kepada orang yang akan memanfaatkannya dan mengembalikan gantinya dikemudian hari.[1]

Ada beberapa pendapat mengenai pengertian Qardh antara lain :

a.    Pengertian Qardh menurut ulama Hanafiyah:

مَا تُعْطِيْهِ مِنْ مَالٍ مِثِليٍّ لِتَتَقَاضَاهُ ،أَوْ بِعِبَارَةٍ أُخْرَى هُوَ عَقْدٌ مُخُصُوصٌ يَرُدُّ عَلَى دَفْعِ مَالٍ مِثْلِيٍّ لِأخَرَلِيَرُدَّ مِثْلَهُ

“sesuatu yang diberikan seseorang dari harta mitsil (yang memiliki perumpamaan) untuk memenuhi kebutuhannya. Atau dengan ungkapan yang lain, qaradh adalah akad tertentu dengan membayarkan harta mitsil kepada orang lain untuk kemudian dikembalikan persis seperti yang diterimanya.”[2]

b.    Sayyid Sabiq memberikan definisi qardh sebagai berikut:

الْقَرْضُ هُوَ الْمَالُ الَّذِيْ يُعْطِيْهِ الْمُقْرِضُ لِلْمُقْتَرِضُ لِيَرُدَّ مِثْلَهُ إِلَيْهِ عِنْدَ قُدْرَتِهِ عَلَيْهِ

“Al-qardh adalah harta yang diberikan oleh pemberi hutang (muqrid) kepada penerima utang (muqtarid) untuk kemudian dikembalikan kepadanya (muqrid) seperti yang diterimanya, ketika ia telah mampu membayarnya.”[3]

c.    Hanabilah sebagaimana dikutip oleh ali fikri memberikan definisi qardh,

اَلْقَرْضُ دَفْعُ مَالٍ لِمَنْ يَنْتَفِعُ بِهِ وَيَرُدُّ بَدَلَه

Qardh adalah memberikan harta kepada orang yang memanfaatkannya dan kemudian mengembalikan penggantinya.”

d.   Adapun pendapat Syafi’iyah adalah sebagai berikut:

اَلشَّا فِعِيَّةُ قَالُوْا : اَلْقَرْضُ يُطْلَقُ شَرْعًا بِمَعْنَى الشَّيْءِالْمُقْرَض.

“Syafi’iyah berpendapat bahwa qaradh dalam istilah syara’ diartikan dengan sesuatu yang diberikan kepada orang lain (yang pada suatu saat harus dikembalikan).”

2.    Landasan Hukum Al-Qardh

Dasar disyari’atkannya qardh (hutang piutang) adalah al-qur’an, hadits, dan ijma’:

a.    Dasar dari al-Qur’an adalah firman Allah SWT (Q.S Al-Baqarah :245):

مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرَضُ اللهَ قَرْضًاحَسَنًا فَيُضَاعِقَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيْرَةً

“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada allah pinjaman yang baik (menafkahkan harta di jalan allah), maka allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.”

Sisi pendalilan dari ayat diatas adalah bahwa allah swt menyerupakan amal salih dan memberi infaq fi sabilillah dengan harta yang dipinjamkan. Dan menyerupakan pembalasannya yang berlipat ganda dengan pembayaran hutang. Amal kebaikan disebut pinjaman (hutang) karena orang yang berbuat baik melakukannya untuk mendapatkan gantinya sehingga menyerupai orang yang menghutangkan sesuatu agar mendapat gantinya.[4]

b.    Dasar dari as-sunnah :

عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ اَنَّ النَّبِيًّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ قَالَ : مَامِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ اِلَّا كَانَ كَصَدَ قَةٍ مَرَّةً (رواهابن ماجه وابن حبان)

“Dari Ibn Mas’ud bahwa Rasulullah SAW, bersabda, “tidak ada seorang muslim yang menukarkan kepada seorang muslim qarad dua kali, maka seperti sedekah sekali.” (HR. Ibn Majah dan Ibn Hibban).

c.    Ijma’

Para ulama telah menyepakati bahwa al-qardh boleh dilakukan. Kesepakatan ulama ini didasari tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa pertolongan dan bantuan saudaranya. Tidak ada seorangpun yang memiliki segala barang yang ia butuhkaan. Oleh karena itu, pinjam-meminjam sudah menjadi satu bagian dari kehidupan du dunia ini. Islam adalah agama yang sangat memperhatikan segenap kebutuhan umatnya.”[5]

 

B.     Rukun dan Syarat Qardh

1.    Rukun qardh (hutang piutang) ada empat yaitu:

a.    Muqridh (orang yang mempunyai barang-barang untuk dihutangkan)

b.    Muqtaridh (orang yang mempunyai hutang)

c.    Muqtaradh (obyek yang dihutang)

d.   Sighat akad (ijab dan qobul)

2.    Syarat Qardh

Adapun syarat-syarat qardh adalah sebagai berikut:

a.    Syarat Aqidain (muqridh dan Muqtaridh)

1)      Ahliyatu al-tabarru’ (layak bersosial), adalah orang yang mampu mentasarufkan hartanya sendiri secara mutlak dan bertanggungjawab. Dalam pengertian ini anak kecil yang belum mempunyai kewenangan untuk mengelola hartanya, orang cacat mental dan budak tidak boleh melakukan akad qardh.

2)      Tanpa ada paksaan, bahwa muqridh dalam memberikan hutangnya tidak dalam tekanan dan paksaan orang lain, demikian juga muqtaridh, keduanya melakukannya secara suka rela.

b.    Syarat Muqtaradh, adalah barang yang bermanfaat dan dapat dipergunakan. Barang yang tidak bernilai secara syar’i tidak bisa ditransaksikan.

c.    Syarat sighat, ijab qabul menunjukkan kesepakatan kedua belah pihak, dan qardh tidak boleh mendatangkan manfaat bagi muqridh. Demikian juga sighat tidak mensyaratkan bagi akad lainnya.

 

C.    Hikmah disyariatkan Al-Qardh

Hikmah disyariatkannya Al-Qardh dapat dilihat dari dua sisi, sisi pertama dari orang yang berhutang (muqtaridh) yaitu membantu mereka yang membutuhkan, dan sisi kedua adalah dari orang yang yang memberi hutang (muqridh) yaitu dapat menumbuhkan jiwa ingin menolong orang lain, menghaluskan perasaan sehingga ia peka terhadap kesulitan yang dialami oleh orang lain.[6]

Adapun hikmah disyariatkannya Qardh (hutang piutang) menurut Syekh Sayyid Tanthawi dalam kitabnya, Fiqh al-Muyassar adalah sebagai berikut:

1.    Memudahkan kepada manusia (التَيْسِيْرُ عَلَى النَّاسِ).

2.    Belas kasih dan kasih sayang terhadap mereka (الرِفْقُ والرَحْمَةُ بِهِمْ) .

3.    Perbuatan yang membuka lebar-lebar (menguraikan) kesulitan yang mereka hadapi

(العَمَلُ عَلَى تَفْرِيْجِ مَتَاعِبِهِمْ).

4.    Mendatangkan kemaslahatan bagi mereka yang berhutang (قَضَاء مَصَالِحِهِم).

 

 

 

D.    Qardh dalam perbankan syariah

Qardh adalah pinjaman uang. Pinjaman qardh biasanya diberikan oleh bank kepada nasabahnya sebagai fasilitas pinjaman talangan pada saat nasabah mengalami overdraft. Fasilitas ini dapat merupakan bagian dari satu paket pembiayaan lain, untuk memudahkan nasabah bertransaksi. Aplikasi qardh dalam perbankan biasanya dalam empat hal, antara lain:

1.    Sebagai pinjaman talangan haji, dimana nasabah calon haji diberikan pinjaman talangan untuk memenuhi syarat penyetoran biaya perjalanan haji. Nasabah akan melunasinya sebelum keberangkatan haji.

2.    Sebagai pinjaman tunai (cash advanced) dari produk kartu kredit syariah, dimana nasabah diberi keleluasaan untuk menarik uang tunai milik Bank melalui ATM. Nasabah akan mengembalikan sesuai waktu yang ditentukan.

3.    Sebagai pinjaman kepada pengusaha kecil dimana menurut perhitungan Bank akan memberatkan si pengusaha bila diberi pembiayaan dengan skema jual-beli Ijarah atau bagi hasil.

4.    Sebagai pinjman kepada pengurus Bank, dimana Bank menyediakan fasilitas ini untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan pengurus Bank. Pengurus Bank akan mengembaliaknnya secara cicilan melalui pemotongan gajinya.

Berdasarkan definisi di atas kita dapat menyimpulakan bahwa qardh dipandang dalam berbagai perspektif, mulai dari istilah secara bahasa sampai pada hukum syara’nya adalah kontradiksi dengan Bank yang notabenenya bergerak dibidang jasa yang senantiasa menginginkan laba atau secara implisit dapat dikatakan bergerak dibidang komersialisasi jasa.

Dalam perihal tersebut Bank diperkenankan mengenakan biaya administrasi, sesuai dengan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional NO: 19/DSN-MUI/IV/2001 Tentang Al-Qardh yang memperbolehkan untuk pemberi pinjaman agar membebankan biaya administrasi kepada nasabah. Dalam penetapan besarnya biaya administrasi sehubungan dengan pemberian qardh, tidak boleh berdasarkan perhitungan persentasi dari jumlah dana qardh yang diberikan.[7]

 

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

1.    Pengertian dan dasar hukum Qardh

a.    Qardh yaitu memberikan (menghutangkan) harta kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan, untuk dikembalikan dengan pengganti yang sama dan dapat ditaqih yang menghutangi kapan saja/sesuai perjanjian.

b.    Dasar hukum qardh yatu: Al-Qur’an, Hadits, Ijma’

2.    Rukun dan Syarat Qardh

a.    Rukun qardh (hutang piutang) ada empat yaitu:

1)      Muqridh (orang yang mempunyai barang-barang untuk dihutangkan)

2)      Muqtaridh (orang yang mempunyai hutang)

3)      Muqtaradh (obyek yang dihutang)

4)      Sighat akad (ijab dan qobul)

b.    Syarat Qardh:

1)      Syarat Aqidain (muqridh dan Muqtaridh)

a)      Ahliyatu al-tabarru’ (layak bersosial).

b)      Tanpa ada paksaan

2)      Syarat Muqtaradh, adalah barang yang bermanfaat dan dapat dipergunakan

3)      Syarat sighat (ijab qabul)

3.    Hikmah disyariatkan Al-Qard

Dilihat dari orang yang berhutang (muqtaridh) yaitu membantu mereka yang membutuhkan, sedangkan dari orang yang yang memberi hutang (muqridh) yaitu dapat menumbuhkan jiwa ingin menolong orang lain, menghaluskan perasaan sehingga ia peka terhadap kesulitan yang dialami oleh orang lain.

4.    Qardh dalam perbankan syariah

Qardh dalam perbankan lembaga keuangan syariah yaitu sebagai produk pelengkap kepada nasabah yang membutuhkan talangan dana secepatnya, sebagai produk untuk menyumbang usaha yang sangat kecil atau membentu sektor sosial.

 

B.     Penutup

Demikianlah pembahasan makalah ini, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca dan pemakalah sendiri. Kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan dalam pembuatan makalah selajutnya agar menjadi lebih baik.


 

DAFTAR PUSTAKA

 

Abdullah bin Muhammad ath-Thayar, dkk. Ensiklopedi Fiqih Muamalah, terj. Miftahul Khair, Yogyakarta: Maktabah al-Hanif, 2009), Cet. 1.

Muslich, Ahmad Wardi, Fiqh Muamalah, Jakarta: Amzah, 2010.

Sabiq, Sayid, Fiqh As-Sunnah, Beirut: Dar Al-Fikr, 1977,  Cet.3..

Syafi’i Antonio, Muhammad, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, Depok: Gema Insani, 2001.

Yaya, Rizal, Abdurrahim, Ahim,  Akuntansi Perbankan Syariah, Teori dan Praktik Kontemporer, Jakarta, Salemba Empat, 2009.

 



[1] Abdullah bin Muhammad ath-Thayar, dkk. Ensiklopedi Fiqih Muamalah, terj. Miftahul Khair, (Yogyakarta: Maktabah al-Hanif, 2009), Cet. 1, hal. 153.

[2] Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 273.

[3] Sayid sabiq, Fiqh As-Sunnah, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1977),  Cet.3, hlm. 128.

[4] Abdullah bin Muhammad ath-Thayar, Op.Cit., hlm. 154.

[5] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, (Depok: Gema Insani, 2001), hlm. 132.

[6] Ahmad Wardi Muslich, Op.Cit., hlm. 277.

[7]  Rizal Yaya, Ahim Abdurrahim,  Akuntansi Perbankan Syariah, Teori dan Praktik Kontemporer, (Jakarta, Salemba Empat, 2009). hlm. 328.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar