AL-QARDH
Hutang piutang adalah perkara yang tidak bisa dipisahkan dalam interaksi
kehidupan manusia. Ketidakmerataan dalam hal materi adalah salah satu penyebab
munculnya perkara ini. Selain itu juga adanya pihak yang menyediakan jasa
peminjaman (hutang) juga ikut ambil bagian dalam transaksi ini.
Islam sebagai agama yang mengatur segala urusan dalam kehidupan manusia
juga mengatur mengenai perkara hutang piutang. Konsep hutang piutang yang ada
dalam Islam pada dasarnya adalah untuk memberikan kemudahan bagi orang yang
sedang kesusahan. Namun pada zaman sekarang, konsep muamalah sedikit banyak
telah bercampur aduk dengan konsep yang diadopsi dari luar Islam. Hal ini
sedikit demi sedikit mulai menyisihka, menggeser, bahkan bisa menghilangkan
konsep muamalah Islam itu sendiri. Oleh karena itulah, perkara hutang piutang
ini penting untuk diketahui oleh umat Islam agar nantinya bisa melaksanakan
transaksi sesuai dengan yang telah disyariatkan oleh Allah swt.
Bertolak dari apa yang sedikit diuraikan di atas, makalah ini dibuat
untuk memaparkan apa yang telah
disyariatkan oleh agama Islam terkait al-Qardh (hutang piutang) terrkait
definisi, dasar hukum, syarat qardh, dan lain sebagainya.
1. Apa pengertian Al-Qardh dan apa dasar hukumnya?
2. Apa rukun dan syarat Al-Qardh?
3. Apa hikmah disyariatkan Al-Qardh?
4. Bagaimana praktek Al-Qardh dalam perbankan syariah?
C.
Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dan
dasar hukum Al-Qardh
2. Untuk mengetahui rukun dan syarat Al-Qardh
3. Untuk mengetahui hikmah disyariatkan Al-Qardh
4. Untuk mengetahui Al-Qardh dalam
perbankan syariah
A.
Pengertian dan dasar hukum Al-Qardh
1. Pengertian Al-Qardh
Secara etimologi,
qardh berarti اَلْقَطْعُ (potongan). Dinamakan
demikian karena pemberi utang (muqrid) memotong sebagian hartanya dan
memberikannya kepada pengutang. Adapun qardh secara terminologis adalah memberikan harta kepada
orang yang akan memanfaatkannya dan mengembalikan gantinya dikemudian hari.[1]
Ada beberapa pendapat mengenai
pengertian Qardh antara lain :
a.
Pengertian Qardh menurut ulama Hanafiyah:
مَا تُعْطِيْهِ مِنْ مَالٍ مِثِليٍّ لِتَتَقَاضَاهُ
،أَوْ بِعِبَارَةٍ أُخْرَى هُوَ عَقْدٌ مُخُصُوصٌ يَرُدُّ عَلَى دَفْعِ مَالٍ
مِثْلِيٍّ لِأخَرَلِيَرُدَّ مِثْلَهُ
“sesuatu yang diberikan seseorang dari harta mitsil (yang memiliki
perumpamaan) untuk memenuhi kebutuhannya. Atau dengan ungkapan yang lain,
qaradh adalah akad tertentu dengan membayarkan harta mitsil kepada orang lain untuk
kemudian dikembalikan persis seperti yang diterimanya.”[2]
b. Sayyid Sabiq memberikan definisi qardh sebagai berikut:
الْقَرْضُ هُوَ الْمَالُ الَّذِيْ يُعْطِيْهِ
الْمُقْرِضُ لِلْمُقْتَرِضُ لِيَرُدَّ مِثْلَهُ إِلَيْهِ عِنْدَ قُدْرَتِهِ
عَلَيْهِ
“Al-qardh adalah harta yang diberikan oleh pemberi hutang (muqrid) kepada
penerima utang (muqtarid) untuk kemudian dikembalikan kepadanya (muqrid)
seperti yang diterimanya, ketika ia telah mampu membayarnya.”[3]
c. Hanabilah sebagaimana dikutip oleh ali fikri memberikan definisi qardh,
اَلْقَرْضُ دَفْعُ مَالٍ لِمَنْ يَنْتَفِعُ بِهِ
وَيَرُدُّ بَدَلَه
“Qardh adalah memberikan harta kepada orang yang memanfaatkannya dan
kemudian mengembalikan penggantinya.”
d. Adapun pendapat Syafi’iyah adalah sebagai berikut:
اَلشَّا فِعِيَّةُ قَالُوْا : اَلْقَرْضُ يُطْلَقُ
شَرْعًا بِمَعْنَى الشَّيْءِالْمُقْرَض.
“Syafi’iyah berpendapat bahwa qaradh dalam istilah syara’ diartikan dengan
sesuatu yang diberikan kepada orang lain (yang pada suatu saat harus
dikembalikan).”
Dasar disyari’atkannya qardh (hutang piutang) adalah al-qur’an, hadits, dan
ijma’:
a. Dasar dari al-Qur’an adalah firman Allah SWT (Q.S Al-Baqarah :245):
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرَضُ اللهَ قَرْضًاحَسَنًا
فَيُضَاعِقَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيْرَةً
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada allah pinjaman yang baik
(menafkahkan harta di jalan allah), maka allah akan melipatgandakan pembayaran
kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.”
Sisi pendalilan dari
ayat diatas adalah bahwa allah swt menyerupakan amal salih dan memberi infaq
fi sabilillah dengan harta yang dipinjamkan. Dan menyerupakan pembalasannya
yang berlipat ganda dengan pembayaran hutang. Amal kebaikan disebut pinjaman
(hutang) karena orang yang berbuat baik melakukannya untuk mendapatkan gantinya
sehingga menyerupai orang yang menghutangkan sesuatu agar mendapat gantinya.[4]
b. Dasar dari as-sunnah :
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ
اَنَّ النَّبِيًّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ قَالَ : مَامِنْ مُسْلِمٍ
يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ اِلَّا كَانَ كَصَدَ قَةٍ مَرَّةً
(رواهابن ماجه وابن حبان)
“Dari Ibn Mas’ud bahwa Rasulullah SAW, bersabda, “tidak ada seorang muslim
yang menukarkan kepada seorang muslim qarad dua kali, maka seperti sedekah
sekali.” (HR. Ibn Majah dan Ibn Hibban).
c. Ijma’
Para ulama telah
menyepakati bahwa al-qardh boleh
dilakukan. Kesepakatan ulama ini didasari tabiat manusia yang tidak bisa hidup
tanpa pertolongan dan bantuan saudaranya. Tidak ada seorangpun yang memiliki
segala barang yang ia butuhkaan. Oleh karena itu, pinjam-meminjam sudah menjadi
satu bagian dari kehidupan du dunia ini. Islam adalah agama yang sangat
memperhatikan segenap kebutuhan umatnya.”[5]
1. Rukun qardh (hutang piutang) ada empat yaitu:
a. Muqridh (orang yang mempunyai barang-barang untuk dihutangkan)
b. Muqtaridh (orang yang mempunyai hutang)
c. Muqtaradh (obyek yang dihutang)
d. Sighat akad (ijab dan qobul)
Adapun
syarat-syarat qardh adalah sebagai berikut:
a.
Syarat
Aqidain (muqridh dan Muqtaridh)
1)
Ahliyatu
al-tabarru’ (layak bersosial), adalah orang yang mampu mentasarufkan hartanya
sendiri secara mutlak dan bertanggungjawab. Dalam pengertian ini anak kecil
yang belum mempunyai kewenangan untuk mengelola hartanya, orang cacat mental
dan budak tidak boleh melakukan akad qardh.
2)
Tanpa ada
paksaan, bahwa muqridh dalam memberikan hutangnya tidak dalam tekanan dan
paksaan orang lain, demikian juga muqtaridh, keduanya melakukannya secara suka
rela.
b.
Syarat
Muqtaradh, adalah barang yang bermanfaat dan dapat dipergunakan. Barang yang
tidak bernilai secara syar’i tidak bisa ditransaksikan.
c.
Syarat
sighat, ijab qabul menunjukkan kesepakatan kedua belah pihak, dan qardh tidak
boleh mendatangkan manfaat bagi muqridh. Demikian juga sighat tidak
mensyaratkan bagi akad lainnya.
C.
Hikmah disyariatkan Al-Qardh
Hikmah disyariatkannya Al-Qardh dapat dilihat dari dua sisi, sisi
pertama dari orang yang berhutang (muqtaridh) yaitu membantu mereka yang
membutuhkan, dan sisi kedua adalah dari orang yang yang memberi hutang (muqridh)
yaitu dapat menumbuhkan jiwa ingin menolong orang lain, menghaluskan perasaan
sehingga ia peka terhadap kesulitan yang dialami oleh orang lain.[6]
Adapun hikmah disyariatkannya Qardh (hutang piutang) menurut Syekh
Sayyid Tanthawi dalam kitabnya, Fiqh al-Muyassar adalah sebagai berikut:
1. Memudahkan kepada manusia (التَيْسِيْرُ
عَلَى النَّاسِ).
2. Belas kasih dan kasih sayang terhadap mereka (الرِفْقُ
والرَحْمَةُ بِهِمْ) .
3. Perbuatan yang membuka lebar-lebar (menguraikan) kesulitan yang mereka hadapi
(العَمَلُ عَلَى تَفْرِيْجِ مَتَاعِبِهِمْ).
4. Mendatangkan kemaslahatan bagi mereka yang berhutang (قَضَاء
مَصَالِحِهِم).
D.
Qardh dalam perbankan syariah
Qardh adalah pinjaman uang. Pinjaman qardh biasanya
diberikan oleh bank kepada nasabahnya sebagai fasilitas pinjaman talangan pada
saat nasabah mengalami overdraft. Fasilitas ini dapat merupakan bagian dari
satu paket pembiayaan lain, untuk memudahkan nasabah bertransaksi. Aplikasi qardh
dalam perbankan biasanya dalam empat hal, antara lain:
1.
Sebagai pinjaman talangan haji, dimana nasabah calon haji diberikan
pinjaman talangan untuk memenuhi syarat penyetoran biaya perjalanan haji.
Nasabah akan melunasinya sebelum keberangkatan haji.
2. Sebagai pinjaman tunai (cash advanced) dari
produk kartu kredit syariah, dimana nasabah diberi keleluasaan untuk menarik
uang tunai milik Bank melalui ATM. Nasabah akan mengembalikan sesuai waktu yang
ditentukan.
3. Sebagai pinjaman kepada pengusaha kecil dimana menurut
perhitungan Bank akan memberatkan si pengusaha bila diberi pembiayaan dengan
skema jual-beli Ijarah atau bagi hasil.
4. Sebagai pinjman kepada pengurus Bank, dimana Bank
menyediakan fasilitas ini untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan pengurus
Bank. Pengurus Bank akan mengembaliaknnya secara cicilan melalui pemotongan
gajinya.
Berdasarkan definisi di atas kita dapat menyimpulakan
bahwa qardh dipandang dalam berbagai perspektif, mulai dari istilah
secara bahasa sampai pada hukum syara’nya adalah kontradiksi dengan Bank yang
notabenenya bergerak dibidang jasa yang senantiasa menginginkan laba atau
secara implisit dapat dikatakan bergerak dibidang komersialisasi jasa.
Dalam perihal tersebut Bank diperkenankan mengenakan
biaya administrasi, sesuai dengan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional NO:
19/DSN-MUI/IV/2001 Tentang Al-Qardh yang memperbolehkan untuk pemberi
pinjaman agar membebankan biaya administrasi kepada nasabah. Dalam penetapan
besarnya biaya administrasi sehubungan dengan pemberian qardh, tidak
boleh berdasarkan perhitungan persentasi dari jumlah dana qardh yang
diberikan.[7]
1.
Pengertian dan dasar hukum Qardh
a.
Qardh yaitu memberikan (menghutangkan) harta kepada
orang lain tanpa mengharapkan imbalan, untuk dikembalikan dengan pengganti yang
sama dan dapat ditaqih yang menghutangi kapan saja/sesuai perjanjian.
b.
Dasar hukum qardh yatu: Al-Qur’an, Hadits, Ijma’
a. Rukun qardh (hutang piutang) ada empat yaitu:
1) Muqridh (orang yang mempunyai barang-barang untuk dihutangkan)
2) Muqtaridh (orang yang mempunyai hutang)
3) Muqtaradh (obyek yang dihutang)
4) Sighat akad (ijab dan qobul)
b. Syarat Qardh:
1) Syarat Aqidain (muqridh dan Muqtaridh)
a) Ahliyatu al-tabarru’ (layak bersosial).
b) Tanpa ada paksaan
2) Syarat Muqtaradh, adalah barang yang bermanfaat dan dapat dipergunakan
3) Syarat sighat (ijab qabul)
3. Hikmah disyariatkan Al-Qard
Dilihat dari orang yang berhutang (muqtaridh) yaitu membantu mereka
yang membutuhkan, sedangkan dari orang yang yang memberi hutang (muqridh)
yaitu dapat menumbuhkan jiwa ingin menolong orang lain, menghaluskan perasaan
sehingga ia peka terhadap kesulitan yang dialami oleh orang lain.
4. Qardh dalam perbankan syariah
B.
Penutup
Demikianlah
pembahasan makalah ini, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca dan pemakalah
sendiri. Kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan dalam pembuatan
makalah selajutnya agar menjadi lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah bin Muhammad ath-Thayar, dkk. Ensiklopedi Fiqih Muamalah, terj. Miftahul Khair, Yogyakarta: Maktabah al-Hanif, 2009), Cet. 1.
Muslich, Ahmad Wardi, Fiqh Muamalah, Jakarta: Amzah, 2010.
Sabiq, Sayid, Fiqh
As-Sunnah, Beirut: Dar Al-Fikr, 1977, Cet.3..
Syafi’i Antonio, Muhammad, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik,
Depok: Gema Insani, 2001.
Yaya, Rizal,
Abdurrahim, Ahim, Akuntansi
Perbankan Syariah, Teori dan Praktik Kontemporer, Jakarta, Salemba
Empat, 2009.
[1] Abdullah bin Muhammad ath-Thayar, dkk. Ensiklopedi Fiqih Muamalah, terj.
Miftahul Khair, (Yogyakarta: Maktabah al-Hanif, 2009), Cet. 1, hal. 153.
[2] Ahmad Wardi
Muslich, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 273.
[3] Sayid sabiq, Fiqh As-Sunnah, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1977), Cet.3, hlm. 128.
[4] Abdullah bin Muhammad ath-Thayar,
Op.Cit., hlm. 154.
[5] Muhammad
Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, (Depok: Gema
Insani, 2001), hlm. 132.
[6] Ahmad Wardi
Muslich, Op.Cit., hlm. 277.
[7] Rizal Yaya, Ahim Abdurrahim, Akuntansi Perbankan Syariah, Teori dan Praktik
Kontemporer, (Jakarta,
Salemba Empat, 2009). hlm. 328.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar