Kamis, 04 Maret 2021

PPT SENI BUDAYA DAN KETRAMPILAN

 

MAKALAH QIYAS

andiayis.blogspot.com

QIYAS

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.      Latar Belakang

Sebagai umat islam, dalam kehidupan sehari-hari ada aturan yang mengatur segala aktivitas kita. Semua ada batasan-batasan tertentu dan aturan-aturan menjalankannya. Dan semua aturan dan batasan hukum yang mengatur umat islam didasarkan pada al Qur’an dan al Hadits. Tetapi permasalahannya terletak pada permasalahan manusia yang sangat komplek dan banyak peristiwa yang terjadi dalam kehidupan yang tidak terdapat nashnya dalam al Qur’an maupun al Hadits.

Dulu ketika pada masa Rosulullah semua permasalahan yang timbul mudah diatasi dan tidak ada perbedaan pendapat, karena ditanyakan langsung kepada Rosulullah. Tetapi dimasa sekarang, jika ada permasalahan yang timbul, bahkan banyak sekali permasalahan yang timbul dan tidak kita temukan nash hukumnya dalam al Qur’an maupun al Hadits, disini para ulama’ mencari pendekatan yang sah, yaitu dengan ijtihad. Dan salah satu ijtihad itu dengan qiyas. Berangkat dari inilah dirasa penting untuk pembahasan mengenai Qiyas sebagaimana menimbang banyaknya permasalahan yang muncul di masyarakat yang nashnya tidak ditemukan dalam Qur’an dan Hadits. Disini penulis akan membahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan qiyas.

 

B.       Rumusan Masalah

1.    Apa pengertian Qiyas dan apa dasar hukumnya ?

2.    Apa saja rukun-rukun dan syarat-syarat Qiyas ?

3.    Apa saja Macam-macam Qiyas ?

 

C.      TUJUAN

1.    Untuk mengetahui pengertian Qiyas dan dasar hukumnya

2.    Untuk mengetahui rukun-rukun dan syarat-syarat Qiyas 

3.    Untuk mengetahui macam-macam Qiyas

 

 


BAB II

PEMBAHASAN

 

A.      Pengertian Qiyas dan Dasar Hukum Qiyas

1.    Pengertian Qiyas

Menurut bahasa, qiyas berarti mengukur, atau menyamakan sesuatu dengan yang lain.[1] Qiyas menurut istilah ushul figh adalah menyertakan suatu perkara terhadap perkara yang lainnya dalam hukum syara’ karena terdapat kesamaan ‘illat diantara keduanya. Yang menyebabkan adanya qiyas adalah adanya kesamaan antara al-maqis (perkara yang diqiyaskan) dengan al-maqis alaih (perkara yang diqiyasi) dalam satu perkara, yakni adanya penyatu antara keduanya. Perkara tersebut adalah ‘illat.[2]

Ada beberapa defenisi tentang qiyas yang telah dikemukakan oleh para ulama Ushul Figh, diantaranya :

a.    Menurut Shadr al-Syari’ah, mendefinisikan qiyas dengan:

اَلْقِيَاسُ هُوَ تَعْدِيَّةُ الْحُكْمِ مِنَ الْأَصْلِ اِلَى الْفَرْعِ بِعِلَّةٍ مُتَّحِدَةٍ لَاتَعْرِفُ  بِمُجَرَّدِ فَهْمِ الْلُّغَةِ

“Qiyas adalah memberlakukan hukum asal pada hukum cabang disebabkan kesatuan ‘Illat yang tidak dapat dicapai melalui pendekatan bahasa saja.”

b.    Menurut mayoritas ulama Syafi’iyah, mendefinisikan qiyas dengan:

حَمْلٌ غَيْرِمَعْلُوْمٍ عَلَى مَعْلُوْمٍ فِى اِتْبَاتِ اْلحُكْمِ لَهُمَا اَوْ نَفْيِهِ عَنْهُمَا بِأَمْرٍ جَامِعٍ بَيْنَهُمَا مِنْ حُكْمٍ اَوْصِفَةٍ                                       

“Membawa hukum yang (belum) diketahui kepada (hukum) yang diketahui dalam rangka menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum bagi keduanya, disebabkan sesuatu yang menyatukan keduanya, baik hukum maupun sifat.”

c.    Qiyas menurut Ibnu Humam yaitu :

اَلْقِيَاسُ هُوَ مُسَاوَاةُ مُحِلِّ لآَ خَرفِى عِلَّةِ حُكْمِ لَهُ شَرْعِيٌّ لاَتُدْرَكُ بِمُجَرَّدِ فَهْمِ الْلُّغَةِ

“Qiyas adalah persamaan kasus dengan kasus lain dalam illat hukum syara’, yang tidak bisa diketahui melalui pendekatan bahasa saja.”

Dari berbagai definisi di atas , dapat diambil pemahaman bahwa Qiyas adalah menghubungkan suatu peristiwa yang status hukumnya tidak disibutkan oleh nas dengan peristiwa yang disebutkan hukumnya lantaran illat hukumnya sama.

Di antara contoh Qiyas adalah setiap minuman yang memabukkan hukumnya haram. Hal ini di Qiyaskan dengan hukum khamar (arak), yaitu haram. Persamaan kedua jenis minuman ini adalah karena kesamaan sifatnya yang memabukkan. Contoh lain adalah harta anak-anak wajib dikeluarkan zakatnya. Hal ini disamakan dengan harta orang dewasa, yaitu bahwa kedua jenis harta tersebut dapat tumbuh dan berkembang. Selain itu juga dapat memberikan pertolongan kepada fakir miskin.Jumhur ulama kaum muslimin sepakat bahwa Qiyas merupakan hujjah syar’I dan termasuk sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat hukum dalam suatu masalah baik dengan nash ataupun ijma’ yang kemudian ditetapkan hukumnya dengan cara analogi dengan persamaan illat maka berlakulah hukum Qiyas dan selanjutnya menjadi hukum syar’i.[3]

 

2.    Dasar Hukum Qiyas

Sebagian besar para ulama fiqh dan para pengikut mazhab yang empat sependapat bahwa qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujah dalam menetapkan hukum dalam ajaran islam. Hanya mereka berbeda pendapat tentang kadar penggunaan qiyas atau macam-macam qiyas yang boleh digunakan dalam mengisbatkan hukum, ada yang membatasinya da nada pula yang tidak membatasinya, namun semua mereka itu barulah melakukan qiyas apabila ada kejadian atau peristiwa tetapi tidak diperoleh satu nash pun yang dapat dijadikan dasar. Hanya sebagian kecil para ulama yang tidak membolehkan pemakaian qiyas mazhab syi’ah. Mengenai dasar-dasar hukum qiyas bagi yang membolehkannya sebagai dasar hujjah, ialah Al-quran, Al-hadist, perbuatan sahabat, dan akal.

 

 

a.    Al-quran

Allah SWTmmemberi petunjuk dalam penggunaan qiyas dengan cara menyamakan dua hal sebagaimana yang terdapat dalam Q.S. Yasiin [36] : 78-79.

وَضَرَبَ لَنَا مَثَلا وَنَسِيَ خَلْقَهُ قَالَ مَنْ يُحْيِي الْعِظَامَ وَهِيَ رَمِيمٌ (٧٨)

قُلْ يُحْيِيهَا الَّذِي أَنْشَأَهَا أَوَّلَ مَرَّةٍ وَهُوَ بِكُلِّ خَلْقٍ عَلِيمٌ (٧٩)

“78. Dan ia membuat perumpamaan bagi kami, dan ia lupa kepada kejadiannya : ia berkata “Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang yang telah hancur luluh?”

79. Katakanlah :“Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya yang pertama kali, dan Dia Maha mengetahui tentang segala makhluk”.

Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah menyamakan kemampuannya menghidupkan tulang belulang yang telah berserakan di kemudian hari dengan kemampuannya menciptakan tulang belulang pertama kali.[4]

b.    Al-hadist

Setelah Rasulullah SAW melantik Mu’adz bin Jabal sebagai gubernur Yaman, beliau bertanya kepadanya:

كَيْفَ تَقْضِى إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ ». قَالَ أَقْضِى بِكِتَابِ اللَّهِ. قَالَ « فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِى كِتَابِ اللَّهِ ». قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-. قَالَ « فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِى سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَلاَ فِى كِتَابِ اللَّهِ ». قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِى وَلاَ آلُو. فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صَدْرَهُ وَقَالَ « الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ لِمَا يُرْضِى رَسُولَ اللَّهِ ».

“Bagaimana (cara) kamu menetapkan hukum apabila dikemukakan suatu peristiwa kepadamu? Mu’adz menjawab: Akan aku tetapkan berdasar al-Quran. Jika engkau tidak memperolehnya dalam al-Quran? Mu’adz berkata: Akan aku tetapkan dengan sunnah Rasulullah. Jika engkau tidak memperoleh dalam sunnah Rasulullah? Mu’adz menjawab: Aku akan berijtihad dengan menggunakan akalku dengan berusaha sungguh-sungguh. (Mu’adz berkata): Lalu Rasulullah menepuk dadanya dan berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk dari tugas yang diangkat Rasulullah, karena ia berbuat sesuai dengan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya.” (Hadis Riwayat Ahmad, Abu Dawud dan at-Tirmidzi )

Dari Hadis ini dapat dipahami bahwa seorang boleh melakukan ijtihad dalam menetapkan hukum suatu peristiwa jika tidak menemukan ayat-ayat al-Quran dan al-Hadis yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Banyak cara yang dapat dilakukan dalam berijtihad itu. Salah satu di antaranya ialah dengan menggunakan qiyas.

c.       Perbuatan sahabat

Para sahabat Nabi Saw banyak melakukan qiyas dalam menetapkan hukum suatu suatu peristiwa yang tidak ada nashnya. Seperti alasan pengangkatan  khalifah Abu Bakar. Menurut para sahabat Abu Bakar lebih utama diangkat menjadi khalifah disbanding sahabat-sahabat yang lain, karena dialah yang disuruh Nab Saw mewakili beliau sebagai imam shalat di waktu beliau sedang sakit. Jika Rasulullah Saw ridha Abu Bakar mengganti beliau imam shalat, tentu beliau lebih ridha jika Abu Bakar menggantikan beliau sebagai kepala pemerintahan.[5]

d.      Akal

Tujuan Allah Swt menetapkan syara’ bagi kemaslahatan manusia.Setiap peristiwa ada yang diterangkan dasarnya dalam nash da nada pula yang tidak diterangkan.Peristiwa yang tidak diterangkan dalam nash atau tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya ada yang ‘illatnya sesuai benar dengan ‘illat hukum dari peristiwa yang ada nash sebagai dasarnya. Menetapkan hukum dari peristiwa yang tidak ada nash sebagai dasarnya ini sesuai dengan hukum yang telah ditetapkan berdasarkan nash, karena ada persamaan ‘illatnya diduga keras akan memberikan kemaslahatan kepada hamba. Sebab itu tepatlah kiranya hukum dari peristiwa itu ditetapkan dengan cara Qiyas.[6]

 

 

 

 

B.       Rukun-rukun Qiyas dan syarat-syarat Qiyas

1.    Rukun-rukun Qiyas

Qiyas tidak akan terbentuk kecuali didukung oleh 4 (empat) unsur rukun yaitu: al-ashl, al-far’u, hukum al-ashl, dan ‘illat.

a.    Al-Ashl adalah masalah pokok yang sudah jelas status hukumnya dengan berlandaskan nash syara’. Al-Ashl disebut juga maqis ‘alaih (yang menjadi ukuran), atau mahmul ‘alaih (tempat membandingkan), atau musyabbah bih (tempat menyerupakan).

b.    Al-Far’u adalah masalah yang tidak ditegaskan status hukumnya oleh nash syara’. Al-Far’u disebut juga maqis (yang diukur), atau mahmul (yang dibandinngkan), atau musyabbah (yanng diserupakan).

c.     Hukum Al-Ashl adalah status hukum yang ditetapkan nash syara’ terhadap al-ashl.

d.   ‘Illat adalah suatu sifat (wasf) yang menjadi landasan keberadaan hukum al-ashl.[7]

 

2.      Syarat-syarat Qiyas

Untuk dapat melakukan Qiyas terhadap suatu masalah yang belum ada ketentuannya dalam Al-Qur’an dan hadits harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a.    Hendaklah hukum asalnya tidak berubah-ubah atau belum dinasakhkan artinya hukum yang tetap berlaku.

b.    Asal serta hukumnya sudah ada ketentuan menurut agama artinya sudah ada menurut ketegasan Al-Qur’an dan hadits. 

c.    Hendaklah hukum yang berlaku pada asal berlaku pula qiyas, artinya hukum asal itu dapat diperlakukan pada qiyas.

d.   Tidak boleh hukum furu’ (cabang) terdahulu pada hukum asal, karena untuk menetapkan hukum berdasarkan kepada illat-nya.

e.    Hendaklah sama ‘illat yang ada pada furu’ dengan ‘illat yang ada pada ashal.

f.     Hukum yang ada pada furu’ hendaklah sama dengan hukum yang ada pada ashal. Artinya tidak boleh hukum furu’ menyalahi hukum ashal.

g.    Tiap-tiap ada ‘illat ada hukum dan tidak ada ‘illat tidak ada hukum. Artinya illat itu selalu ada.

h.    Tidak boleh illat itu bertentangan menurut ketentuan-ketentuan agama, artinya tidak boleh menyalahi kitab dan sunnah.[8]

C.      Macam-macam Qiyas

Para Ulama ushul fiqih menyatakan bahwa qiyas dapat dibagi dari beberapa segi, antara lain sebagai berikut: 

1.    Dilihat dari segi kekuatan ‘illat yang terdapat pada far’u dibandingkan yang terdapat pada ashal. Dari segi ini qiyas dibagi kepada tiga macam, yaitu qiyas al-aulawi, qiyas al-musawi, dan qiyas al-adna.

a.    Qiyas Al-Aulawi

Qiyas Al-Aulawi adalah qiyas yang hukum pada fara’, sebenarnya lebih utama ditetapkan dibanding dengan hukum ashl. Seperti haramnya hukum mengucapkan kata-kata “ah” kepada kedua orang tua, berdasarkan firman Allah SWT:

فَلاَ تَقُلْ لَّهُمَآاُفٍّ..........

...... maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”...... (QS. Al-Isra’ (17): 23)

‘Illat-nya adalah menyakiti hati kedua orang tua. Bagaimana hukum memukul orangn tua? Dari kedua peristiwa nyatalah bahwa hati orang tua lebih sakit bila dipukul anaknya dibanding dengan ucapan “ah” yang diucapkan anaknya kepadanya. Karena itu, sebenarnya hukum yang ditetapkan bagi fara’ lebih utama dibanding dengan hukum yang ditetapkan pada ashl.  

b.    Qiyas Al-Musawi

Qiyas Al-Musawi adalah

مَاكَانَتِ اْلعِلَّةُ فِيْهِ مُوْجِبَةٌ لِلْحُكْمِ وَكَانَ اْلمُلْحِقُ مُتَسَاوِيًا بِا لْحُكْمِ فِيْهِ لِلْمُلْحَقِ بِهِ

Suatu qiyas yang ‘illat-nya yang mewajibkan hukum, atau meng-qiyas-kan sesuatu kepada suatu yang bersamaan kedua-duanya dalam keputusan menerima hukum tersebut.

Pengertian lain bahwa qiyas al-musawi adalah qiyas hukum yang ditetapkan fara’ sebanding dengan hukum yang ditetapkan pada ashl. Atau hukum furu’ sama kualitasnya dengan hukum yang ada pada ashl, karena kualitas ‘illat pada keduanya juga sama. Contohnya menjual harta anak yatim di-qiyas-kan kepada memakan harta anak yatim. Memakan harta anak yatim haram hukumnya, berdasarkan firman Allah SWT:

 اِنَّ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ اَمْوَالَ الْيَتَمَى ظُلْمًا اِنَّمَا يَأْكُلُوْنَ فِيْ بُطُوْنِهِمْ نَارًا.....

Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya..... (QS, An—Nisa’ (4): 10)

c.       Qiyas Al-Adna

Qiyas Al-Adna adalah:

مَاكَانَ الْمُلْحَقُ اَدْنَ بِا لْحُكْمِ فِيْهِ بِا لْمُلْحَقِ بِهِ

Meng-qiyas-kan sesuatu yang kurang patut menerima hukum yang diberikan kepada sesuatu yang memang patut menerima hukum itu.

Atau ‘illat yang ada pada furu’ lebih lemah dibandingkan dengan ‘illat yang ada pada ashl. Artinya ikatan ‘illat yang ada pada furu’ sangat lemah dibanding ikatan ‘illat yang ada pada ashl.

Contohnya, meng-qiyas-kan hukum mengaramkan orang laki-laki memakai perak kepada hukum orang laki-laki memakai emas, dengan sebab sama-sama bersifat memegahkan diri. Atau meng-qiyas-kan apel pada gandum dalam hal berlakunya riba fadhl, karena keduanya mengandung ‘illat yang sama, yaitu sama-sama jenis makanan. Dalam hadis Rasulullah saw. Dikatakan bahwa benda sejenis apabila dipertukarkan dengan berbeda kuantitasnya maka perbedaan itu menjadi riba fadhl.

Oleh sebab itu, Imam Syafi’i mengatakan bahwa dalam jual beli apel pun bisa berlaku riba fadhl. Akan tetapi, berlakunya hukum riba pada apel lebih lemah dibandingkan dengan yang berlaku pada gandum karena ‘illat riba fadhl pada gandum lebih kuat.

2.    Dari segi kejelasan ‘illat yang terdapat  pada hukum, qiyas dibagi kepada dua macam, yaitu qiyas al-jaly dan  qiyas al-khafy.

a.    Qiyas Al-Jaly

Qiyas Al-Jali adalah qiyas yang ‘illat-nya berdasarkan dalil yang pasti, tidak ada kemungkinan lain selain dari ‘illat yang ditunjukkan oleh dalil itu. Atau qiyas yang ‘illat-nya ditetapkan oleh nash bersamaan dengan hukum ashl atau nash tidak menetapkan illat-nya, tetapi dipastikan bahwa tidak ada pengaruh perbedaan antara ashl dengan furu’.

Dalam qiyas al-jaly terdapat keseimbangan dan tidak terdapat perbedaan antara pokok qiyas dan cabang qiyas. Seperti, meng-qiyas-kan budak perempuan dengan budak laki-laki. Walaupun terdapat perbedaann antara perempuan dan  laki-laki, namun dalam hukum perbudakan keduanya tidak berbeda.

b.    Qiyas Al-Khafy

Qiyas Al-Khafy adalah qiyas yang ‘illat-nya mungkin dijadikan ‘illat dan mungkin pula tidak dijadikan ‘illat. Atau qiyas yang ‘illat-nya tidak disebutkan dalam nash.

Contohnya meng-qiyas-kan sisa minuman burung buas kepada sisa minuman binatang buas. ‘Illat-nya adalah kedua binatang itu sama-sama minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya bercampur dengan sisa minuman itu. ‘Illat ini mungkin dapat digunakan untuk sisa burung buas dan mungkin pula tidak, karena mulut burung buas berbeda dengan mulut binatang buas. Mulut burung buas terdiri dari tulang atau zat tanduk. Tulang atau zat tanduk adalah suci, sedang mulut binatang buas adalah daging, daging binatang buas adalah haram, namun kedua-duanya adalah mulut dan sisa minuman. Adapun yang tersembunyi disini adalah mulut burung buas yang berupa tulang atau zat tanduk.

 

3.    Dilihat dari keserasian ‘illat dengan hukum, qiyas dibagi atas dua bentuk, yaitu qiyas al-mu’atstsir, dan qiyas al-mula’im.

a.    Qiyas Al-Mu’atstsir

Qiyas Al-Mu’atstsir adalah qiyas yang menjadi penghubung antara ashl dengan furu’ ditetapkan melalui nash sharih atau ijma’ atau qiyas yang ‘ain shifat (sifat itu sendiri) yang menghubungkan ashl dengan furu’ berpengaruh pada hukum itu sendiri.

Contohnya adalah meng-qiyas-kan hak perwalian dalam menikahkan anak dibawah umur kepada hak perwalian atas hartanya, dengan ‘illat belum dewasa. ‘illat  belum dewasa ini ditetapkan melalui ijma’.

Contoh ‘ain shifat  yang berpengaruh pada ‘ain hukum  adalah meng-qiyas-kan minuman keras yang dibuat dari bahan selain anggur kepada khamr (dibuat dari anggur) dengan ‘illat  sama-sama memabukkan. ‘illat memabukkan pada kedua jenis benda ini berpengaruh pada hukum keharaman meminumnya.

 

 

b.    Qiyas Al-Mula’im

Qiyas Al-Mula’im adalah qiyas yang ‘illat hukum ashl-nya mempunyai hubungan yang serasi. Contoh, menng-qiyas-kan pembunuhan dengan benda berat kepada pembunuhan dengan benda tajam. ‘Illat pada hukum ashl mempunyai hubungan yang serasi.  

 

4.    Dilihat dari segi kejelasan atau tidaknya ‘illat pada qiyas tersebut, qiyas dapat dibagi kepada tiga bentuk, yaitu: qiyas al-ma’na, qiyas al-‘illat, qiyas ad-dalalah.

a.    Qiyas Al-Ma’na

 adalah qiyas yang didalamnya tidak dijelaskan ‘illat-nya, tetapi antara ashl dan  furu’  tidak dibedakan, sehingga furu’  seakan-akan ashl.

Contoh, meng-qiyas-kan membakar harta anak yatim pada memakannya, yang ‘illat-nya sama-sama menghabiskan harta anak yatim itu secara lazim.

b.    Qiyas Al-‘Illat

Qiyas Al-‘Illat adalah qiyas  yang mempersamakan ashl dengan fara’, karena keduanya mempunyai persamaan ‘illat. Contoh, qiyas minuman keras yang dibuat dari kurma dengan minuman keras yang dibuat dari anggur. ‘Illat hukum dalam keduanya memabukkan.

c.    Qiyas Ad-Dalalah

Qiyas ad-Dalalah adalah qiyas yang ‘illat-nya tidak disebut, tetapi merupakan petunjuk yang menunjukkan adanya ‘illat untuk menetapkan sesuatu hukum dari suatu peristiwa.

Seperti, harta kanak-kanak yang belum baligh, apakah wajib ditunaikan zakatnya atau tidak. Para ulama yang menetapkannya wajib meng-qiyas-kannya kepada harta orang yang telah baligh, karena ada petunjuk yang menyatakan ‘illat-nya, yaitu kedua harta itu sama-sama dapat bertambah atau berkembang. Tetapi Mazhab Hanafi, tidak meng-qiyas-kannya kepada orang yang telah baligh, tetapi kepada ibadah, seperti shalat, puasa dan sebagainya. Ibadah hanya diwajibkan kepada orang yang mukallaf, termasuk di dalamnya orang yang telah baligh, tetapi tidak diwajibkan kepada anak kecil (orang yang belum baligh). Karena itu anak kecil tidak wajib menunaikan zakat hartanya yang telah memenuhi syarat-syarat zakat.[9]

 

5.    Dilihat dari segi metode (masalik) dalam menemukan ‘illat, qiyas dapat dibagi 4:

Qiyas Al-Ikhalah (قِيَاسُ الإِخَالَة), Qiyas Asy-Syabah (قِيَاسُ الشَّبَه),

Qiyas As-Sabru (قِيَاسُ السَّبْر), Qiyas At-Thard (قِيَاسُ الطَرْد).[10]

 

a.    Qiyas Al-Ikhalah

Qiyas Al-Ikhalah adalah: Qiyas yang mengunakan metode penetapan ‘illat dengan teori munasabah (persesuaian) dan ikhalah.[11]

Munasabah yaitu perihal sifat pemberlakuan hukum yang mengandung kemaslahatan yang diakui oleh syara’, seperti memabukkan dalam pengharaman khamr, dan kemaslahatan yang teralisir dengan pengharaman ini terwujud dalam menjaga kesehatan akal dari kerusakan yang disebabkan oleh khamr. Inti munasabah-nya adalah: perihal sifat Munasib itu disertai hukum yang dijelaskan dalam nash, dan bahwa sifat itu selamat dari cacat ‘illat, serta terdapat dalil independensi sifat itu dengan munasabah, tanpa sifat yang lain, sehingga diketahui bahwa sifat itu adalah ‘illat hukum tersebut.[12]

Ikhalah yaitu indikasi kesesuaian antara sifat dan hukum, yakni jika penetapan hukum meniscayakan realisasi kemaslahatan yang dimaksudkan oleh syara’. Penentuan ‘illat pada ashl dengan sekadar kesesuaian sifat, bukan melalui teks atau lainnya. Contoh, unsur memabukkan merupakan sifat yang sesuai dengan pengharaman khamr. Sebab, sifat-sifat lainnya tidak relevan sebagai ‘illat khamr misalnya: berupa cairan; berwarna merah atau manis; semua itu tidak sesuai sebagai ‘illat haramnya khamr, seba dalam harus mengindikasikan kesesuaian. Dengan demikian, unsur memabukkan dianggap sebagai ‘illat keharaman khamr, dan tiap kali unsur ini ditemukan dalam minuman itupun haram. Sebab  unsur ini merupakan indikasi dari hukum haram, bukan yang lainnya.[13]

b.    Qiyas As-Syabah

Qiyas As-Syabah yaitu menyamakan far’u dengan ashl karena banyak memiliki keserupaan sifat dengan ashal, tanpa meyakini bahwa keserupaan far’u dengan ashal itu adalah ‘illat dari hukum ashal.

Misalnya menyimpulkan tidak adanya kewajiban sujud tilawah berdasarkan kebolehan melakukannya di atas unta tanpa uzur. Jelasnya bahwa dalam kasus itu, si pelaku qiyas menyimpulkan keberlakuan sebuah hukum berdasarkan beberapa hukum furu’, yaitu kebolehan melakukan sujud di atas unta sebagai hukum yang berlaku pada satu kasus far’u itu, yaitu bersifat anjuran bukan wajib.

c.    Qiyas As-Sabru

Qiyas As-Sabru yaitu qiyas yang ‘illat-nya ditetapkan melalui metode as-sabr wa at-taqsim. Sedangkan qiyas as-sabr wa at-taqsim adalah qiyas yang ditetapkan ‘illat-nya sesudah dilakukan penelitian dan peninjauan yang lebih dalam. Pada awalnya dikumpulkan segala sebab yang terdapat pada pokok, lalu dibatalkan segala yang tidak dapat dipandang sebab dan diambil yang tidak dapat ditolak lagi.

Contohnya, meng-qiyas-kan jagung kepada gandum. Didalam gandum terdapat washaf, yaitu makanan, pengenyangan, dan sukatan (ukuran). Akan tetapi, makanan dan mengenyangkan tidak dapat dipakai sebab maka tinggallah sukatan saja yang menjadi sebab.[14]

d.   Qiyas At-Thard

Qiyas At-Thard yaitu qiyas yang sifatnya tidak mencerminkan hukum, juga bukan hal yang lazim bagi sesuatu yang sesuai dengan hukum itu.

Misalnya meng-qiyas-kan minuman perasan pada khamr dengan konvergensi warna dan tingkat ekstasenya. Sifat-sifat ini tidak berkaitan dengan hukum, dan mutlak bukan berupa kelaziaman dari hukum.[15]

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

A.      Kesimpulan

1.    Pengertian dan Dasar hukum Qiyas

a.    Qiyas adalah menghubungkan suatu peristiwa yang status hukumnya tidak disibutkan oleh nas dengan peristiwa yang disebutkan hukumnya lantaran illat hukumnya sama

b.    Dasar hukum Qiyas adalah : Al-Qur’an, Hadits, Perbuatan Sahabat, dan Akal

2.    Rukun-rukun Qiyas, syarat-syarat Qiyas, dan macam-macam Qiyas

a.    Rukun-rukun Qiyas yaitu: al-ashl, al-far’u, hukum al-ashl, dan ‘illat.

b.    Syarat-syarat Qiyas

1)        Hukum asalnya tidak berubah-ubah atau belum dinasakhkan artinya hukum yang tetap berlaku.

2)        Asal serta hukumnya sudah ada ketentuan menurut agama.

3)        Hukum yang berlaku pada asal berlaku pula qiyas.

4)        Tidak boleh hukum furu’ (cabang) terdahulu pada hukum asal, karena untuk menetapkan hukum berdasarkan kepada illat-nya.

5)        Hendaklah sama ‘illat yang ada pada furu’ dengan ‘illat yang ada pada ashal.

6)        Hukum yang ada pada furu’ hendaklah sama dengan hukum yang ada pada ashal.

7)        Tiap-tiap ada ‘illat ada hukum dan tidak ada ‘illat tidak ada hukum.

8)        Tidak boleh illat itu bertentangan menurut ketentuan-ketentuan agama, artinya tidak boleh menyalahi kitab dan sunnah.

3.    Macam-macam Qiyas

1)        Dilihat dari segi kekuatan ‘illat yang terdapat pada furu’, dibandingkan dengan yang terdapat pada ashl dibagi menjadi tiga macam, yaitu qiyas al-aulawi, qiyas al-musawi, dan qiyas al-adna.

2)        Dari segi kejelasan ‘illat yang terdapat  pada hukum, dibagi menjadi dua macam, yaitu qiyas al-jaly dan  qiyas al-khafy.

3)        Dilihat dari keserasian ‘illat dengan hukum, qiyas dibagi menjadi dua yaitu  qiyas al-mu’atstsir, dan  qiyas al-mula’im.

4)        Dilihat dari segi kejelasan atau tidaknya ‘illat pada qiyas tersebut, qiyas dibagi menjadi tiga yaitu:  qiyas al-ma’na,  qiyas al-‘illat, qiyas ad-dalalah.

5)        Dilihat dari segi metode (masalik) dalam menemukan ‘illat, qiyas dibagi menjadi 4 yaitu:

a)         Qiyas Al-Ikhalah (قِيَاسُ الإِخَالَة).

b)        Qiyas Asy-Syabah (قِيَاسُ الشَّبَه) .

c)         Qiyas As-Sabru (قِيَاسُ السَّبْر)

d)        Qiyas At-Thard (قِيَاسُ الطَرْد).

 

B.       Penutup

Demikianlah pembahasan makalah ini, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca dan pemakalah sendiri. Kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan dalam pembuatan nakalah selanjutnya agar menjadi lebih baik lagi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Aripin, Jaenal, Kamus Ushul Fiqh Dalam Dua Bingkai Ijtihad, Jakarta: Kencana  Media Group, 2012

Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2001

Jumantoro, Totok dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: Amzah Bumi Aksara, 2009

Jumantoro, Totok, Kamus Ushul Fiqh, Jakarta: PT. Hamzah, 2001

Muhammd Hasbi Ash Sidieqy, Teungku, Pengantar Hukum Islam,  Semarang: Pustaka Rizki Putera, 2001

Mulia, Insan, Fiqh, Surakarta: Putra Nugraha, 2008

Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Jilid 1,  Jakarta: Kencana, 2008


 

 



[1] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, jilid 1, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 158.

[2] Teungku Muhammd Hasbi Ash Sidieqy, Pengantar Hukum Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putera, 2001), hlm. 200.

[3] Insan  Mulia, Fiqih, (Surakarta : Putra Nugraha, 2008), hlm.25.

[4] Totok Jumantoro, Kamus Ushul Fiqh, (Jakarta: PT. Hamzah, 2001), hlm. 272.

[5] Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, (Bandung: PT. Pustaka Rizki Putra, 2003), hlm. 206.

[6] Amir Syarifuddin, hlm. 192.

[7] Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah,2001), hlm 96.

[9] Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Amzah Bumi Aksara, 2009), hlm. 277-285.

[10] Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, hlm. 273.

[11] Jaenal Aripin, Kamus Ushul Fiqh Dalam Dua Bingkai Ijtihad, (Jakarta: Kencana Media Group, 2012), hlm. 155.

[12] Ibid., hlm 228.

[13] Ibid., hlm 257.

[14] Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, hlm 278.

[15] Jaenal Aripin, Kamus Ushul Fiqh Dalam Dua Bingkai Ijtihad, hlm 164-165.