Tetap Semangat Menjalani Hidup Ini, Semoga Berkah Barokah, Selamat Dunia Akhirat
Kamis, 04 Maret 2021
MAKALAH QIYAS
QIYAS
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai umat islam, dalam kehidupan sehari-hari ada
aturan yang mengatur segala aktivitas kita. Semua ada batasan-batasan tertentu
dan aturan-aturan menjalankannya. Dan semua aturan dan batasan hukum yang
mengatur umat islam didasarkan pada al Qur’an dan al Hadits. Tetapi
permasalahannya terletak pada permasalahan manusia yang sangat komplek dan
banyak peristiwa yang terjadi dalam kehidupan yang tidak terdapat nashnya dalam
al Qur’an maupun al Hadits.
Dulu ketika pada masa Rosulullah semua permasalahan
yang timbul mudah diatasi dan tidak ada perbedaan pendapat, karena ditanyakan
langsung kepada Rosulullah. Tetapi dimasa sekarang, jika ada permasalahan yang
timbul, bahkan banyak sekali permasalahan yang timbul dan tidak kita temukan
nash hukumnya dalam al Qur’an maupun al Hadits, disini para ulama’ mencari
pendekatan yang sah, yaitu dengan ijtihad. Dan salah satu ijtihad itu dengan
qiyas. Berangkat dari inilah dirasa penting untuk pembahasan mengenai Qiyas
sebagaimana menimbang banyaknya permasalahan yang muncul di masyarakat yang
nashnya tidak ditemukan dalam Qur’an dan Hadits. Disini penulis akan membahas
tentang hal-hal yang berkaitan dengan qiyas.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Qiyas dan apa dasar hukumnya ?
2. Apa saja rukun-rukun dan syarat-syarat Qiyas ?
3. Apa saja Macam-macam Qiyas ?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian Qiyas dan dasar hukumnya
2. Untuk mengetahui rukun-rukun dan syarat-syarat Qiyas
3. Untuk mengetahui macam-macam Qiyas
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Qiyas dan
Dasar Hukum Qiyas
1. Pengertian Qiyas
Menurut bahasa, qiyas berarti mengukur, atau menyamakan
sesuatu dengan yang lain.[1] Qiyas menurut istilah ushul figh adalah menyertakan suatu perkara
terhadap perkara yang lainnya dalam hukum syara’ karena terdapat kesamaan ‘illat
diantara keduanya. Yang menyebabkan adanya qiyas adalah adanya kesamaan antara al-maqis
(perkara yang diqiyaskan) dengan al-maqis alaih (perkara yang diqiyasi)
dalam satu perkara, yakni adanya penyatu antara keduanya. Perkara tersebut
adalah ‘illat.[2]
Ada beberapa
defenisi tentang qiyas yang telah dikemukakan oleh para ulama Ushul Figh, diantaranya :
a.
Menurut Shadr
al-Syari’ah, mendefinisikan qiyas dengan:
اَلْقِيَاسُ هُوَ تَعْدِيَّةُ
الْحُكْمِ مِنَ الْأَصْلِ اِلَى الْفَرْعِ بِعِلَّةٍ مُتَّحِدَةٍ لَاتَعْرِفُ بِمُجَرَّدِ فَهْمِ الْلُّغَةِ
“Qiyas adalah memberlakukan hukum asal pada hukum
cabang disebabkan kesatuan ‘Illat yang tidak dapat dicapai melalui pendekatan
bahasa saja.”
b. Menurut mayoritas ulama Syafi’iyah, mendefinisikan qiyas dengan:
حَمْلٌ غَيْرِمَعْلُوْمٍ عَلَى مَعْلُوْمٍ فِى اِتْبَاتِ
اْلحُكْمِ لَهُمَا اَوْ نَفْيِهِ عَنْهُمَا بِأَمْرٍ جَامِعٍ بَيْنَهُمَا
مِنْ حُكْمٍ اَوْصِفَةٍ
“Membawa hukum yang
(belum) diketahui kepada (hukum) yang diketahui dalam rangka menetapkan hukum bagi
keduanya, atau meniadakan hukum bagi keduanya, disebabkan sesuatu yang
menyatukan keduanya, baik hukum maupun sifat.”
c.
Qiyas menurut Ibnu Humam
yaitu :
اَلْقِيَاسُ هُوَ مُسَاوَاةُ مُحِلِّ لآَ خَرفِى عِلَّةِ
حُكْمِ لَهُ شَرْعِيٌّ لاَتُدْرَكُ بِمُجَرَّدِ فَهْمِ الْلُّغَةِ
“Qiyas adalah persamaan kasus dengan kasus lain dalam illat hukum syara’,
yang tidak bisa diketahui melalui pendekatan bahasa saja.”
Dari berbagai definisi
di atas , dapat diambil pemahaman bahwa Qiyas adalah menghubungkan suatu
peristiwa yang status hukumnya tidak disibutkan oleh nas dengan peristiwa yang
disebutkan hukumnya lantaran illat hukumnya sama.
Di antara contoh Qiyas
adalah setiap minuman yang memabukkan hukumnya haram. Hal ini di Qiyaskan
dengan hukum khamar (arak), yaitu haram. Persamaan kedua jenis minuman ini
adalah karena kesamaan sifatnya yang memabukkan. Contoh lain adalah harta
anak-anak wajib dikeluarkan zakatnya. Hal ini disamakan dengan harta orang
dewasa, yaitu bahwa kedua jenis harta tersebut dapat tumbuh dan berkembang.
Selain itu juga dapat memberikan pertolongan kepada fakir miskin.Jumhur ulama
kaum muslimin sepakat bahwa Qiyas merupakan hujjah syar’I dan termasuk sumber
hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat hukum
dalam suatu masalah baik dengan nash ataupun ijma’ yang kemudian ditetapkan
hukumnya dengan cara analogi dengan persamaan illat maka berlakulah hukum Qiyas
dan selanjutnya menjadi hukum syar’i.[3]
2. Dasar Hukum Qiyas
Sebagian besar para ulama fiqh dan para pengikut mazhab yang empat
sependapat bahwa qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujah dalam
menetapkan hukum dalam ajaran islam. Hanya mereka berbeda pendapat tentang
kadar penggunaan qiyas atau macam-macam qiyas yang boleh digunakan dalam mengisbatkan
hukum, ada yang membatasinya da nada pula yang tidak membatasinya, namun semua
mereka itu barulah melakukan qiyas apabila ada kejadian atau peristiwa tetapi
tidak diperoleh satu nash pun yang dapat dijadikan dasar. Hanya sebagian kecil
para ulama yang tidak membolehkan pemakaian qiyas mazhab syi’ah. Mengenai
dasar-dasar hukum qiyas bagi yang membolehkannya sebagai dasar hujjah, ialah
Al-quran, Al-hadist, perbuatan sahabat, dan akal.
a.
Al-quran
Allah SWTmmemberi
petunjuk dalam penggunaan qiyas dengan cara menyamakan dua hal sebagaimana yang
terdapat dalam Q.S. Yasiin [36] : 78-79.
وَضَرَبَ لَنَا مَثَلا وَنَسِيَ خَلْقَهُ قَالَ مَنْ
يُحْيِي الْعِظَامَ وَهِيَ رَمِيمٌ (٧٨)
قُلْ يُحْيِيهَا الَّذِي أَنْشَأَهَا أَوَّلَ مَرَّةٍ
وَهُوَ بِكُلِّ خَلْقٍ عَلِيمٌ (٧٩)
“78. Dan ia membuat
perumpamaan bagi kami, dan ia lupa kepada kejadiannya : ia berkata “Siapakah
yang dapat menghidupkan tulang belulang yang telah hancur luluh?”
79. Katakanlah :“Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang
menciptakannya yang pertama kali, dan Dia Maha mengetahui tentang segala
makhluk”.
Ayat tersebut
menjelaskan bahwa Allah menyamakan kemampuannya menghidupkan tulang belulang
yang telah berserakan di kemudian hari dengan kemampuannya menciptakan tulang
belulang pertama kali.[4]
b.
Al-hadist
Setelah
Rasulullah SAW melantik Mu’adz bin Jabal sebagai gubernur Yaman, beliau
bertanya kepadanya:
كَيْفَ تَقْضِى إِذَا عَرَضَ لَكَ
قَضَاءٌ ». قَالَ أَقْضِى بِكِتَابِ اللَّهِ. قَالَ « فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِى
كِتَابِ اللَّهِ ». قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.
قَالَ « فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِى سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
وَلاَ فِى كِتَابِ اللَّهِ ». قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِى وَلاَ آلُو. فَضَرَبَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صَدْرَهُ وَقَالَ « الْحَمْدُ لِلَّهِ
الَّذِى وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ لِمَا يُرْضِى رَسُولَ اللَّهِ ».
“Bagaimana
(cara) kamu menetapkan hukum apabila dikemukakan suatu peristiwa kepadamu?
Mu’adz menjawab: Akan aku tetapkan berdasar al-Quran. Jika engkau tidak
memperolehnya dalam al-Quran? Mu’adz berkata: Akan aku tetapkan dengan sunnah
Rasulullah. Jika engkau tidak memperoleh dalam sunnah Rasulullah? Mu’adz
menjawab: Aku akan berijtihad dengan menggunakan akalku dengan berusaha
sungguh-sungguh. (Mu’adz berkata): Lalu Rasulullah menepuk dadanya dan berkata:
Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk dari tugas yang diangkat
Rasulullah, karena ia berbuat sesuai dengan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya.”
(Hadis Riwayat Ahmad, Abu Dawud dan at-Tirmidzi )
Dari Hadis
ini dapat dipahami bahwa seorang boleh melakukan ijtihad dalam menetapkan hukum
suatu peristiwa jika tidak menemukan ayat-ayat al-Quran dan al-Hadis yang dapat
dijadikan sebagai dasarnya. Banyak cara yang dapat dilakukan dalam berijtihad
itu. Salah satu di antaranya ialah dengan menggunakan qiyas.
c.
Perbuatan sahabat
Para sahabat Nabi Saw banyak melakukan qiyas dalam menetapkan hukum suatu
suatu peristiwa yang tidak ada nashnya. Seperti alasan pengangkatan khalifah Abu Bakar. Menurut para sahabat Abu
Bakar lebih utama diangkat menjadi khalifah disbanding sahabat-sahabat yang
lain, karena dialah yang disuruh Nab Saw mewakili beliau sebagai imam shalat di
waktu beliau sedang sakit. Jika Rasulullah Saw ridha Abu Bakar mengganti beliau
imam shalat, tentu beliau lebih ridha jika Abu Bakar menggantikan beliau
sebagai kepala pemerintahan.[5]
d.
Akal
Tujuan Allah Swt menetapkan syara’ bagi kemaslahatan manusia.Setiap
peristiwa ada yang diterangkan dasarnya dalam nash da nada pula yang tidak
diterangkan.Peristiwa yang tidak diterangkan dalam nash atau tidak ada nash
yang dapat dijadikan sebagai dasarnya ada yang ‘illatnya sesuai benar dengan
‘illat hukum dari peristiwa yang ada nash sebagai dasarnya. Menetapkan hukum
dari peristiwa yang tidak ada nash sebagai dasarnya ini sesuai dengan hukum
yang telah ditetapkan berdasarkan nash, karena ada persamaan ‘illatnya diduga
keras akan memberikan kemaslahatan kepada hamba. Sebab itu tepatlah kiranya
hukum dari peristiwa itu ditetapkan dengan cara Qiyas.[6]
B. Rukun-rukun Qiyas dan syarat-syarat Qiyas
1. Rukun-rukun Qiyas
Qiyas tidak akan terbentuk kecuali didukung oleh 4
(empat) unsur rukun yaitu: al-ashl, al-far’u, hukum al-ashl, dan ‘illat.
a.
Al-Ashl adalah masalah pokok yang sudah jelas status hukumnya dengan berlandaskan
nash syara’. Al-Ashl disebut juga maqis ‘alaih (yang menjadi
ukuran), atau mahmul ‘alaih (tempat membandingkan), atau musyabbah
bih (tempat menyerupakan).
b.
Al-Far’u adalah masalah yang tidak ditegaskan status hukumnya oleh nash syara’. Al-Far’u
disebut juga maqis (yang diukur), atau mahmul (yang
dibandinngkan), atau musyabbah (yanng diserupakan).
c.
Hukum Al-Ashl adalah status hukum yang ditetapkan nash syara’ terhadap al-ashl.
d.
‘Illat adalah suatu sifat (wasf) yang menjadi landasan keberadaan hukum al-ashl.[7]
2.
Syarat-syarat
Qiyas
Untuk dapat melakukan Qiyas terhadap suatu masalah
yang belum ada ketentuannya dalam Al-Qur’an
dan hadits harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.
Hendaklah hukum asalnya tidak
berubah-ubah atau belum dinasakhkan artinya hukum yang tetap berlaku.
b.
Asal serta hukumnya sudah ada
ketentuan menurut agama artinya sudah ada menurut ketegasan Al-Qur’an dan
hadits.
c.
Hendaklah hukum yang berlaku pada
asal berlaku pula qiyas, artinya hukum asal itu dapat
diperlakukan pada qiyas.
d.
Tidak boleh hukum furu’
(cabang) terdahulu pada hukum asal, karena untuk menetapkan hukum
berdasarkan kepada illat-nya.
e.
Hendaklah sama ‘illat yang
ada pada furu’ dengan ‘illat yang ada pada ashal.
f.
Hukum yang ada pada furu’
hendaklah sama dengan hukum yang ada pada ashal. Artinya tidak boleh
hukum furu’ menyalahi hukum ashal.
g.
Tiap-tiap ada ‘illat ada
hukum dan tidak ada ‘illat tidak ada hukum. Artinya ‘illat itu selalu ada.
h.
Tidak boleh ‘illat itu bertentangan menurut ketentuan-ketentuan agama, artinya tidak boleh menyalahi kitab dan sunnah.[8]
C.
Macam-macam
Qiyas
Para Ulama ushul fiqih menyatakan bahwa qiyas dapat
dibagi dari beberapa segi, antara lain sebagai berikut:
1.
Dilihat dari segi kekuatan ‘illat
yang terdapat pada far’u dibandingkan yang terdapat pada ashal. Dari segi ini
qiyas dibagi kepada tiga macam, yaitu qiyas
al-aulawi, qiyas al-musawi, dan qiyas al-adna.
a.
Qiyas Al-Aulawi
Qiyas Al-Aulawi adalah qiyas yang
hukum pada fara’, sebenarnya lebih utama ditetapkan dibanding dengan
hukum ashl. Seperti haramnya hukum mengucapkan kata-kata “ah” kepada
kedua orang tua, berdasarkan firman Allah SWT:
فَلاَ تَقُلْ لَّهُمَآاُفٍّ..........
...... maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya
perkataan “ah”...... (QS. Al-Isra’ (17): 23)
‘Illat-nya adalah menyakiti
hati kedua orang tua. Bagaimana hukum memukul orangn tua? Dari kedua peristiwa
nyatalah bahwa hati orang tua lebih sakit bila dipukul anaknya dibanding dengan
ucapan “ah” yang diucapkan anaknya kepadanya. Karena itu, sebenarnya hukum yang
ditetapkan bagi fara’ lebih utama dibanding dengan hukum yang ditetapkan
pada ashl.
b.
Qiyas Al-Musawi
Qiyas Al-Musawi adalah
مَاكَانَتِ اْلعِلَّةُ فِيْهِ مُوْجِبَةٌ لِلْحُكْمِ
وَكَانَ اْلمُلْحِقُ مُتَسَاوِيًا بِا لْحُكْمِ فِيْهِ لِلْمُلْحَقِ بِهِ
Suatu qiyas yang ‘illat-nya yang mewajibkan hukum, atau meng-qiyas-kan
sesuatu kepada suatu yang bersamaan kedua-duanya dalam keputusan menerima hukum
tersebut.
Pengertian lain bahwa qiyas al-musawi adalah qiyas
hukum yang ditetapkan fara’ sebanding dengan hukum yang ditetapkan
pada ashl. Atau hukum furu’ sama kualitasnya dengan hukum yang
ada pada ashl, karena kualitas ‘illat pada keduanya juga sama.
Contohnya menjual harta anak yatim di-qiyas-kan kepada memakan harta
anak yatim. Memakan harta anak yatim haram hukumnya, berdasarkan firman Allah
SWT:
اِنَّ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ
اَمْوَالَ الْيَتَمَى ظُلْمًا اِنَّمَا يَأْكُلُوْنَ فِيْ بُطُوْنِهِمْ نَارًا.....
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,
sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya..... (QS, An—Nisa’ (4): 10)
c.
Qiyas Al-Adna
Qiyas Al-Adna adalah:
مَاكَانَ الْمُلْحَقُ اَدْنَ بِا لْحُكْمِ فِيْهِ بِا
لْمُلْحَقِ بِهِ
Meng-qiyas-kan sesuatu yang kurang patut menerima hukum yang
diberikan kepada sesuatu yang memang patut menerima hukum itu.
Atau ‘illat yang ada pada furu’ lebih
lemah dibandingkan dengan ‘illat yang ada pada ashl. Artinya
ikatan ‘illat yang ada pada furu’ sangat lemah dibanding ikatan ‘illat
yang ada pada ashl.
Contohnya, meng-qiyas-kan hukum mengaramkan orang laki-laki memakai
perak kepada hukum orang laki-laki memakai emas, dengan sebab sama-sama
bersifat memegahkan diri. Atau meng-qiyas-kan apel pada gandum dalam hal
berlakunya riba fadhl, karena keduanya mengandung ‘illat yang
sama, yaitu sama-sama jenis makanan. Dalam hadis Rasulullah saw. Dikatakan
bahwa benda sejenis apabila dipertukarkan dengan berbeda kuantitasnya maka
perbedaan itu menjadi riba fadhl.
Oleh sebab itu, Imam Syafi’i mengatakan bahwa dalam
jual beli apel pun bisa berlaku riba fadhl. Akan tetapi, berlakunya
hukum riba pada apel lebih lemah dibandingkan dengan yang berlaku pada
gandum karena ‘illat riba fadhl pada gandum lebih kuat.
2.
Dari segi kejelasan
‘illat yang terdapat pada hukum, qiyas dibagi kepada dua macam, yaitu qiyas
al-jaly dan qiyas al-khafy.
a.
Qiyas Al-Jaly
Qiyas Al-Jali adalah qiyas yang
‘illat-nya berdasarkan dalil yang pasti, tidak ada kemungkinan lain
selain dari ‘illat yang ditunjukkan oleh dalil itu. Atau qiyas yang
‘illat-nya ditetapkan oleh nash bersamaan dengan hukum ashl atau
nash tidak menetapkan ‘illat-nya, tetapi dipastikan bahwa tidak
ada pengaruh perbedaan antara ashl dengan furu’.
Dalam qiyas al-jaly terdapat keseimbangan dan
tidak terdapat perbedaan antara pokok qiyas dan cabang qiyas.
Seperti, meng-qiyas-kan budak perempuan dengan budak laki-laki. Walaupun
terdapat perbedaann antara perempuan dan laki-laki, namun dalam hukum
perbudakan keduanya tidak berbeda.
b.
Qiyas Al-Khafy
Qiyas Al-Khafy adalah qiyas yang
‘illat-nya mungkin dijadikan ‘illat dan mungkin pula tidak
dijadikan ‘illat. Atau qiyas yang ‘illat-nya tidak
disebutkan dalam nash.
Contohnya meng-qiyas-kan sisa minuman burung
buas kepada sisa minuman binatang buas. ‘Illat-nya adalah kedua binatang
itu sama-sama minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya bercampur dengan sisa
minuman itu. ‘Illat ini mungkin dapat digunakan untuk sisa burung buas
dan mungkin pula tidak, karena mulut burung buas berbeda dengan mulut binatang
buas. Mulut burung buas terdiri dari tulang atau zat tanduk. Tulang atau zat
tanduk adalah suci, sedang mulut binatang buas adalah daging, daging binatang
buas adalah haram, namun kedua-duanya adalah mulut dan sisa minuman. Adapun
yang tersembunyi disini adalah mulut burung buas yang berupa tulang atau zat
tanduk.
3.
Dilihat dari keserasian
‘illat dengan hukum, qiyas dibagi atas dua bentuk, yaitu qiyas al-mu’atstsir,
dan qiyas al-mula’im.
a.
Qiyas Al-Mu’atstsir
Qiyas Al-Mu’atstsir adalah qiyas yang
menjadi penghubung antara ashl dengan furu’ ditetapkan melalui nash
sharih atau ijma’ atau qiyas yang ‘ain shifat (sifat
itu sendiri) yang menghubungkan ashl dengan furu’ berpengaruh
pada hukum itu sendiri.
Contohnya adalah meng-qiyas-kan hak perwalian
dalam menikahkan anak dibawah umur kepada hak perwalian atas hartanya, dengan ‘illat
belum dewasa. ‘illat belum dewasa ini ditetapkan melalui ijma’.
Contoh ‘ain shifat yang berpengaruh pada ‘ain
hukum adalah meng-qiyas-kan minuman keras yang dibuat dari
bahan selain anggur kepada khamr (dibuat dari anggur) dengan ‘illat sama-sama
memabukkan. ‘illat memabukkan pada kedua jenis benda ini berpengaruh
pada hukum keharaman meminumnya.
b.
Qiyas Al-Mula’im
Qiyas Al-Mula’im adalah qiyas
yang ‘illat hukum ashl-nya mempunyai hubungan yang serasi. Contoh, menng-qiyas-kan pembunuhan dengan benda berat kepada
pembunuhan dengan benda tajam. ‘Illat pada hukum ashl mempunyai
hubungan yang serasi.
4.
Dilihat dari segi
kejelasan atau tidaknya ‘illat pada qiyas tersebut, qiyas dapat dibagi kepada
tiga bentuk, yaitu: qiyas al-ma’na, qiyas al-‘illat, qiyas
ad-dalalah.
a.
Qiyas Al-Ma’na
adalah qiyas yang didalamnya tidak dijelaskan ‘illat-nya,
tetapi antara ashl dan furu’ tidak dibedakan,
sehingga furu’ seakan-akan ashl.
Contoh, meng-qiyas-kan membakar harta anak yatim pada memakannya,
yang ‘illat-nya sama-sama menghabiskan harta anak yatim itu secara
lazim.
b.
Qiyas Al-‘Illat
Qiyas Al-‘Illat adalah qiyas yang
mempersamakan ashl dengan fara’, karena keduanya mempunyai
persamaan ‘illat. Contoh, qiyas minuman
keras yang dibuat dari kurma dengan minuman keras yang dibuat dari anggur. ‘Illat
hukum dalam keduanya memabukkan.
c.
Qiyas Ad-Dalalah
Qiyas ad-Dalalah adalah qiyas yang
‘illat-nya tidak disebut, tetapi merupakan petunjuk yang menunjukkan
adanya ‘illat untuk menetapkan sesuatu hukum dari suatu peristiwa.
Seperti, harta kanak-kanak yang belum baligh, apakah wajib ditunaikan zakatnya atau tidak.
Para ulama yang menetapkannya wajib meng-qiyas-kannya kepada harta orang yang
telah baligh, karena ada petunjuk yang menyatakan ‘illat-nya, yaitu kedua harta itu sama-sama dapat bertambah atau berkembang.
Tetapi Mazhab Hanafi, tidak meng-qiyas-kannya kepada orang yang telah
baligh, tetapi kepada ibadah, seperti shalat, puasa dan sebagainya.
Ibadah hanya diwajibkan kepada orang yang mukallaf, termasuk di dalamnya
orang yang telah baligh, tetapi tidak diwajibkan kepada anak kecil
(orang yang belum baligh). Karena itu anak kecil tidak wajib menunaikan
zakat hartanya yang telah memenuhi syarat-syarat zakat.[9]
5.
Dilihat dari segi
metode (masalik) dalam menemukan ‘illat, qiyas dapat dibagi 4:
Qiyas Al-Ikhalah (قِيَاسُ الإِخَالَة), Qiyas Asy-Syabah (قِيَاسُ
الشَّبَه),
Qiyas As-Sabru (قِيَاسُ السَّبْر), Qiyas At-Thard (قِيَاسُ الطَرْد).[10]
a.
Qiyas Al-Ikhalah
Qiyas Al-Ikhalah adalah: Qiyas yang
mengunakan metode penetapan ‘illat dengan teori munasabah (persesuaian)
dan ikhalah.[11]
Munasabah yaitu perihal sifat pemberlakuan hukum yang mengandung
kemaslahatan yang diakui oleh syara’, seperti memabukkan dalam
pengharaman khamr, dan kemaslahatan yang teralisir dengan pengharaman
ini terwujud dalam menjaga kesehatan akal dari kerusakan yang disebabkan oleh khamr.
Inti munasabah-nya adalah: perihal sifat Munasib itu disertai
hukum yang dijelaskan dalam nash, dan bahwa sifat itu selamat dari cacat
‘illat, serta terdapat dalil independensi sifat itu dengan munasabah,
tanpa sifat yang lain, sehingga diketahui bahwa sifat itu adalah ‘illat hukum
tersebut.[12]
Ikhalah yaitu indikasi kesesuaian antara sifat dan
hukum, yakni jika penetapan hukum meniscayakan realisasi kemaslahatan yang
dimaksudkan oleh syara’. Penentuan ‘illat pada ashl dengan
sekadar kesesuaian sifat, bukan melalui teks atau lainnya. Contoh, unsur
memabukkan merupakan sifat yang sesuai dengan pengharaman khamr. Sebab,
sifat-sifat lainnya tidak relevan sebagai ‘illat khamr misalnya: berupa
cairan; berwarna merah atau manis; semua itu tidak sesuai sebagai ‘illat haramnya
khamr, seba dalam harus mengindikasikan kesesuaian. Dengan demikian,
unsur memabukkan dianggap sebagai ‘illat keharaman khamr, dan
tiap kali unsur ini ditemukan dalam minuman itupun haram. Sebab unsur ini
merupakan indikasi dari hukum haram, bukan yang lainnya.[13]
b.
Qiyas As-Syabah
Qiyas As-Syabah yaitu menyamakan far’u dengan ashl karena
banyak memiliki keserupaan sifat dengan ashal, tanpa meyakini bahwa
keserupaan far’u dengan ashal itu adalah ‘illat dari hukum
ashal.
Misalnya menyimpulkan tidak adanya kewajiban sujud tilawah berdasarkan
kebolehan melakukannya di atas unta tanpa uzur. Jelasnya bahwa dalam kasus itu,
si pelaku qiyas menyimpulkan keberlakuan sebuah hukum berdasarkan
beberapa hukum furu’, yaitu kebolehan melakukan sujud di atas unta
sebagai hukum yang berlaku pada satu kasus far’u itu, yaitu bersifat
anjuran bukan wajib.
c.
Qiyas As-Sabru
Qiyas As-Sabru yaitu qiyas yang
‘illat-nya ditetapkan melalui metode as-sabr wa at-taqsim.
Sedangkan qiyas as-sabr wa at-taqsim adalah qiyas yang ditetapkan ‘illat-nya
sesudah dilakukan penelitian dan peninjauan yang lebih dalam. Pada awalnya dikumpulkan
segala sebab yang terdapat pada pokok, lalu dibatalkan segala yang tidak dapat
dipandang sebab dan diambil yang tidak dapat ditolak lagi.
Contohnya, meng-qiyas-kan jagung kepada gandum. Didalam
gandum terdapat washaf, yaitu makanan, pengenyangan, dan sukatan
(ukuran). Akan tetapi, makanan dan mengenyangkan tidak dapat dipakai sebab maka
tinggallah sukatan saja yang menjadi sebab.[14]
d.
Qiyas At-Thard
Qiyas At-Thard yaitu qiyas yang sifatnya tidak mencerminkan
hukum, juga bukan hal yang lazim bagi sesuatu yang sesuai dengan hukum itu.
Misalnya meng-qiyas-kan minuman perasan pada khamr dengan
konvergensi warna dan tingkat ekstasenya. Sifat-sifat ini tidak berkaitan
dengan hukum, dan mutlak bukan berupa kelaziaman dari hukum.[15]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Pengertian dan Dasar hukum Qiyas
a.
Qiyas adalah
menghubungkan suatu peristiwa yang status hukumnya tidak disibutkan oleh nas
dengan peristiwa yang disebutkan hukumnya lantaran illat hukumnya sama
b.
Dasar hukum Qiyas
adalah : Al-Qur’an, Hadits, Perbuatan Sahabat, dan Akal
2.
Rukun-rukun Qiyas, syarat-syarat
Qiyas, dan macam-macam Qiyas
a.
Rukun-rukun Qiyas yaitu: al-ashl, al-far’u, hukum al-ashl, dan ‘illat.
b.
Syarat-syarat Qiyas
1)
Hukum asalnya tidak berubah-ubah
atau belum dinasakhkan artinya hukum yang tetap berlaku.
2)
Asal serta hukumnya sudah ada
ketentuan menurut agama.
3)
Hukum yang berlaku pada asal berlaku
pula qiyas.
4)
Tidak boleh hukum furu’
(cabang) terdahulu pada hukum asal, karena untuk menetapkan hukum
berdasarkan kepada illat-nya.
5)
Hendaklah sama ‘illat yang
ada pada furu’ dengan ‘illat yang ada pada ashal.
6)
Hukum yang ada pada furu’
hendaklah sama dengan hukum yang ada pada ashal.
7)
Tiap-tiap ada ‘illat ada
hukum dan tidak ada ‘illat tidak ada hukum.
8)
Tidak boleh ‘illat itu bertentangan menurut ketentuan-ketentuan agama, artinya tidak boleh
menyalahi kitab dan sunnah.
3.
Macam-macam Qiyas
1)
Dilihat dari segi
kekuatan ‘illat yang terdapat pada furu’, dibandingkan dengan yang terdapat
pada ashl dibagi menjadi tiga macam, yaitu qiyas al-aulawi, qiyas
al-musawi, dan qiyas al-adna.
2)
Dari segi kejelasan
‘illat yang terdapat pada hukum, dibagi menjadi dua macam, yaitu qiyas
al-jaly dan qiyas al-khafy.
3)
Dilihat dari keserasian
‘illat dengan hukum, qiyas dibagi menjadi dua yaitu qiyas al-mu’atstsir, dan qiyas al-mula’im.
4)
Dilihat dari segi
kejelasan atau tidaknya ‘illat pada qiyas tersebut, qiyas dibagi menjadi tiga yaitu: qiyas al-ma’na, qiyas al-‘illat, qiyas ad-dalalah.
5)
Dilihat dari segi
metode (masalik) dalam menemukan ‘illat, qiyas dibagi menjadi 4 yaitu:
a)
Qiyas Al-Ikhalah (قِيَاسُ
الإِخَالَة).
b)
Qiyas Asy-Syabah (قِيَاسُ
الشَّبَه) .
c)
Qiyas As-Sabru (قِيَاسُ
السَّبْر)
d)
Qiyas At-Thard (قِيَاسُ
الطَرْد).
B.
Penutup
Demikianlah pembahasan makalah ini, semoga dapat
bermanfaat bagi pembaca dan pemakalah sendiri. Kritik dan saran yang
konstruktif sangat kami harapkan dalam pembuatan nakalah selanjutnya agar
menjadi lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Aripin, Jaenal, Kamus Ushul Fiqh Dalam Dua Bingkai Ijtihad, Jakarta: Kencana Media Group, 2012
Asmawi, Perbandingan
Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2001
Jumantoro, Totok dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu
Ushul Fikih, Jakarta: Amzah Bumi Aksara, 2009
Jumantoro, Totok, Kamus Ushul Fiqh, Jakarta:
PT. Hamzah, 2001
Muhammd Hasbi Ash
Sidieqy, Teungku, Pengantar Hukum Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putera, 2001
Mulia, Insan, Fiqh, Surakarta: Putra Nugraha,
2008
Syarifuddin, Amir, Ushul
Fiqh, Jilid 1, Jakarta: Kencana, 2008
[1] Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh, jilid 1, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 158.
[2]
Teungku Muhammd
Hasbi Ash Sidieqy, Pengantar Hukum Islam, (Semarang: Pustaka Rizki
Putera, 2001), hlm. 200.
[3] Insan Mulia, Fiqih, (Surakarta : Putra
Nugraha, 2008), hlm.25.
[4] Totok
Jumantoro, Kamus Ushul Fiqh, (Jakarta: PT. Hamzah, 2001), hlm. 272.
[5] Tengku Muhammad
Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, (Bandung: PT. Pustaka Rizki
Putra, 2003), hlm. 206.
[6] Amir Syarifuddin,
hlm. 192.
[7]
Asmawi, Perbandingan
Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah,2001), hlm 96.
[9] Totok Jumantoro dan
Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Amzah Bumi Aksara,
2009), hlm. 277-285.
[10] Totok Jumantoro dan
Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, hlm. 273.
[11] Jaenal Aripin, Kamus Ushul Fiqh Dalam Dua Bingkai Ijtihad, (Jakarta: Kencana Media Group, 2012), hlm. 155.
[12] Ibid., hlm 228.
[13] Ibid., hlm 257.
[14] Totok Jumantoro dan
Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, hlm 278.
[15] Jaenal Aripin, Kamus Ushul Fiqh Dalam Dua Bingkai Ijtihad, hlm 164-165.